Marga Tionghoa
merupakan marga yang digunakan orang Tionghoa. Marga (Hanzi: 姓氏, hanyu pinyin: xingshi) biasanya
berupa satu karakter Han (Hanzi) yang diletakkan di depan nama seseorang. Ada
pula marga yang terdiri dari 2 atau bahkan 3 sampai 9 karakter marga seperti
ini disebut marga ganda (Hanzi: 復姓, hanyu pinyin: fuxing). Marga Tionghoa juga diadopsi
oleh suku-suku minoritas yang sekarang tergabung dalam entitas Tionghoa. Marga
dalam suku-suku minoritas ini biasanya berupa penerjemahan pelafalan dari
bahasa suku-suku minoritas tadi ke dalam Hanzi. Penggunaan marga di dalam
kebudayaan Tionghoa telah mempunyai sejarah selama 5.000 tahun lebih.
Evolusi nama Tionghoa
Di zaman dahulu, menurut catatan literatur kuno ada
peraturan bahwa nama seorang anak biasanya baru akan ditetapkan 3 bulan setelah
kelahirannya. Namun pada praktiknya, banyak yang memberikan nama sebulan
setelah kelahiran sang anak, bahkan ada yang baru diberikan setahun setelahnya.
Juga ada yang telah menetapkan nama terlebih dahulu sebelum kelahiran sang
anak.
Di zaman Dinasti Shang, orang-orang masih menggunakan nama dengan 1
karakter. Ini dikarenakan mereka belum mengenal marga dan juga karena jumlah
penduduk yang tidak banyak.
Sebelum zaman Dinasti Han,
biasanya nama Tionghoa hanya terdiri dari 2 karakter yang terdiri dari 1
karakter marga dan 1 karakter nama. Namun setelah Dinasti Han, orang-orang
mulai memiliki sebuah nama lengkap yang terdiri dari 3 karakter (1 karakter
marga dan 2 karakter nama pribadi yang terdiri dari 1 karakter nama generasi
dan 1 karakter nama diri) selain daripada nama resmi mereka yang 2 karakter
itu.
Di zaman Dinasti Jin,
orang-orang baru memakai nama dengan 3 karakter seperti yang kita kenal
sekarang. Nama menjadi sebuah hal yang penting bagi seseorang dipengaruhi oleh
pemikiran Konfusius tentang pentingnya penamaan bagi
penonjolan karakter seseorang.
Pada kasus-kasus yang sangat langka, seseorang dapat
memiliki nama dengan lebih dari tiga karakter :
1. Dua karakter marga (seperti Sima, Zhuge), satu karakter
generasi, dan satu karakter nama diri. Contoh: Sima Xiangru
2. Satu karakter marga dan tiga karakter nama. Contoh: Hong Tianguifu (anak dari Hong Xiuquan)
3. Nama marga suku minoritas yang mengadopsi nama Tionghoa. Contoh: suku Manchu yang menguasai dinasti Qing menggunakan marga Aisin Gioro; kaisar dinasti Qing terakhir bernama Aisin Gioro Puyi (enam karakter)
2. Satu karakter marga dan tiga karakter nama. Contoh: Hong Tianguifu (anak dari Hong Xiuquan)
3. Nama marga suku minoritas yang mengadopsi nama Tionghoa. Contoh: suku Manchu yang menguasai dinasti Qing menggunakan marga Aisin Gioro; kaisar dinasti Qing terakhir bernama Aisin Gioro Puyi (enam karakter)
Tingkatan marga
Di zaman dulu, marga-marga tertentu mempunyai tingkatan
lebih tinggi daripada marga-marga lainnya. Pandangan ini terutama muncul dan
memasyarakat pada zaman Dinasti Jin dan sesudahnya. Pengelompokan tingkatan
marga ini terutama juga dikarenakan oleh sistem feodalisme yang mengakar zaman
dulu di China. Ini dapat dilihat di zaman Dinasti Song misalnya, Bai Jia
Xing yang dilafalkan pada masa tersebut menempatkan marga Zhao
yang merupakan marga kaisar menjadi marga pertama.
Di masa sekarang tidak ada pengelompokan tingkatan marga
lagi di dalam kemargaan Tionghoa. Bila beberapa marga didaftarkan maka biasanya
diadakan pengurutan sesuai dengan jumlah goresan karakter marga tersebut.
Munculnya berbagai macam marga antara lain karena :
1. Menggunakan lambang2 suku2 kuno, misalnya Ma (kuda), Long
(naga), Shan (gunung), Yun (awan)
2. Menggunakan nama negara, misalnya: Qi, Lu, Wei, Song
3. Menggunakan daerah kekuasaan, misalnya: Zhao, yang mendapatkan daerah kekuasaan di kota Zhao.
4. Menggunakan gelar jabatan, misalnya: Sima (menteri Perang), Situ (menteri tanah dan rakyat), Sikong (menteri Pu)
5. Menggunakan nama pekerjaan, misalnya: Tao (keramik), Wu (dukun/tabib)
6. Menggunakan tanda dari tempat tinggal, misalnya: Ximen (gerbang barat), Liu (pohon yangliu), Chi (kolam)
2. Menggunakan nama negara, misalnya: Qi, Lu, Wei, Song
3. Menggunakan daerah kekuasaan, misalnya: Zhao, yang mendapatkan daerah kekuasaan di kota Zhao.
4. Menggunakan gelar jabatan, misalnya: Sima (menteri Perang), Situ (menteri tanah dan rakyat), Sikong (menteri Pu)
5. Menggunakan nama pekerjaan, misalnya: Tao (keramik), Wu (dukun/tabib)
6. Menggunakan tanda dari tempat tinggal, misalnya: Ximen (gerbang barat), Liu (pohon yangliu), Chi (kolam)
Nama Tionghoa di Indonesia
Marga Tionghoa di Indonesia terutama ditemukan di kalangan
suku Tionghoa Indonesia. Suku Tionghoa Indonesia walau telah berganti nama
Indonesia, namun masih banyak yang tetap mempertahankan marga dan nama Tionghoa
mereka yang masih digunakan di acara-acara tidak resmi atau yang bersifat
kekeluargaan.
Diperkirakan ada sekitar 300-an marga Tionghoa di Indonesia,
data di PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)
mencatat ada sekitar 160 marga Tionghoa di Jakarta. Di Singapura sendiri ada
sekitar 320 marga Tionghoa. Atas dasar ini, karena daerah asal suku Tionghoa di
Indonesia relatif dekat dengan Singapura maka dapat diambil kesimpulan kasar
bahwa jumlah marga Tionghoa di Indonesia melebihi 320 marga.
Marga Tionghoa di Indonesia mayoritas dilafalkan dalam dialek Hokkian (Minnan).
Hal ini tidak mengherankan karena mayoritas keturunan Tionghoa Indonesia adalah
berasal dari Provinsi Fujian (Provinsi Hokkian).
Marga yang lazim di kalangan Tionghoa Indonesia misalnya :
Cia/Tjia (Hanzi: 謝, hanyu pinyin: xie)
Gouw/Goh (Hanzi: 吳, hanyu pinyin: wu)
Kang/Kong (Hanzi: 江, hanyu pinyin: jiang)
Lauw/Lau (Hanzi: 劉, hanyu pinyin: liu)
Lee/Lie (Hanzi: 李, hanyu pinyin: li)
Oey/Ng/Oei (Hanzi: 黃, hanyu pinyin: huang)
Ong (Hanzi: 王, hanyu pinyin: wang)
Tan (Hanzi: 陳, hanyu pinyin: chen)
Tio/Thio/Theo/Teo (Hanzi: 張, hanyu pinyin: zhang)
Lim (Hanzi: 林, hanyu pinyin: lin)
Gouw/Goh (Hanzi: 吳, hanyu pinyin: wu)
Kang/Kong (Hanzi: 江, hanyu pinyin: jiang)
Lauw/Lau (Hanzi: 劉, hanyu pinyin: liu)
Lee/Lie (Hanzi: 李, hanyu pinyin: li)
Oey/Ng/Oei (Hanzi: 黃, hanyu pinyin: huang)
Ong (Hanzi: 王, hanyu pinyin: wang)
Tan (Hanzi: 陳, hanyu pinyin: chen)
Tio/Thio/Theo/Teo (Hanzi: 張, hanyu pinyin: zhang)
Lim (Hanzi: 林, hanyu pinyin: lin)
Masih banyak lagi marga-marga lain yang dapat ditemui.
Sebagai info, pengguna marga tionghoa terbanyak di dunia adalah marga Li [李], lalu diikuti marga Wang [王] di tempat kedua dan marga Zhang [張] di tempat ketiga. Salah satu
fenomena umum di Indonesia adalah karena marga dilafalkan dalam dialek Hokkian,
sehingga tidak ada satu standar penulisan (romanisasi) yang tepat. Hal ini juga
menyebabkan banyak marga-marga yang sama pelafalannya dalam dialek Hokkian
kadang-kadang dianggap merupakan marga yang sama padahal sesungguhnya tidak
demikian.
Tio selain merujuk kepada marga Zhang (張) dalam Mandarin, juga merupakan
dialek Hokkian dari marga Zhao (趙)
Ang selain merujuk kepada marga Hong (洪) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Weng (翁)
Ang selain merujuk kepada marga Hong (洪) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Weng (翁)
Suku Tionghoa Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata
masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang Tionghoa di
Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya nama Tionghoa di
Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi. Karena mayoritas orang
Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari Hokkian, maka nama-nama Tionghoa
berdialek Hokkian lebih lazim daripada dialek-dialek lainnya.
Daftar Nama Tionghoa Yang di Indonesiakan
Tabel dibawah berdasarkan penulisan pinyin. Karakter
yang menggunakan koma berarti ada lebih dari satu macam karakter untuk pinyin
yang sama. Karakter dengan tanda garis miring berarti di sebelah kiri adalah
Hanzi tradisional, dan di sebelah kanan Hanzi sederhana.
Nama
Tionghoa
|
Ejaan
Latin Hokkian
|
Peng-Indonesiaan
|
欧阳/歐陽 (Oūyáng)
|
Auwjong
|
Ojong
|
安
(Ān)
|
An
|
Anadra, Andy, Anita, Ananta
|
蔡
(Cài)
|
Tjoa
|
Cahyo, Cahyadi
|
程,
成
(Chéng)
|
Seng
|
Sengani
|
陳
(Chen)
|
Tan, Tjhin
|
Tanto, Tanoto, Tanu, Tanutama,
Tanusaputra, Tanudisastro, Tandiono, Tanujaya, Tanzil/Tansil, Tanasal,
Tanadi, Tanusudibyo, Tanamal, Tandy, Tantra, Intan
|
鄧
(Deng)
|
Tenggara, Tengger, Ateng
|
|
徐
(Xú)
|
Djie, Tjhie, Chi (Hakka), Chee,
Swee, Shui (Teochew, Hokkien), Tsui (Cantonese)
|
Dharmadjie, Christiadjie
|
胡
(Hú)
|
Aw, Auw (Teochew, Hokkien), Wu
(Cantonese)
|
|
郭
(Guo)
|
Kwee, Kwik
|
Kartawiharja, Kusuma/Kusumo,
Kumala
|
韓
(Han)
|
Han
|
Handjojo, Handaya, Handoyo,
Handojo, Hantoro
|
洪
(Hong)
|
Ang
|
Anggawarsito, Anggakusuma, Angela,
Angkiat, Anggoro, Anggodo, Angkasa, Angsana
|
Showing 1 to 11 of 33 entries
Geser untuk pindah
Di zaman Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden
Soeharto, warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk
mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti mengambil sebuah nama
Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono
Salim. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih
sering digunakan, sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan
surat-menyurat resmi.Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah
ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya
tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi wajar di
kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini dipolitisir sedemikian
rupa.
Anjuran ganti nama tersebut muncul karena ketegangan
hubungan Republik Rakyat China dengan Indonesia setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa
(LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan penggantian nama orang-orang
Tionghoa demi pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa.Seruan ini mendapat
kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti
Tionghoa. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa
nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang
menyebabkan nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai
akhir hayatnya.
Cemoohan datang dari Organisasi KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia)
yang pada waktu itu mengumandangkan nada-nada anti Tionghoa yang menyatakan
bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang Tionghoa serta menyerukan
pemulangan seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan RRC (Republik
Rakyat China) di Indonesia ke negara leluhurnya. Ganti nama ini memang
merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan antara pembangunan karakter
dan nasionalisme bangsa dengan nama seseorang, juga karena tidak ada sebuah
nama yang merupakan nama Indonesia asli.
See more at:
http://www.tionghoa.info
No comments:
Post a Comment