Wednesday, December 12, 2012

TRADISI DAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONHOA MASIH EKSIS DITENGAH MASYARAKAT

                                           
 Sebelumnya, mungkin banyak dari kita yang mengira bahwa bicara tentang kebudayaan Tionghoa adalah membicarakan kepercayaan tradisional yang ada dalam masyarakat Tionghoa, seakan – akan kepercayaan tadilah yang membentuk kebudayaan dan cara hidup masyarakat Tionghoa selama ribuan tahun.
Sebenarnya, kepercayaan tradisional hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan Tionghoa itu sendiri, namun kepercayaan tradisional yang terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman pra-sejarah kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Jadi dapat dikatakan, kepercayaan tradisional ini muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk kebudayaan dan segala transformasinya.

Tulisan ini sendiri terjadi karena banyaknya masyarakat yang melakukan adat istiadatnya tanpa mengetahui asal – usulnya atau bahkan mempertanyakan kenapa hal – hal tersebut dilakukan. Mudah – mudahan dengan adanya tulisan ini, dapat membantu mencerahkan sedikit kebingungan dan menjawab pertanyaan – pertanyaan kita. Dan apabila memungkinkan, tambahan koreksi yang bersifat membangun dapat menambah pengetahuan kita bersama pada terbitan berikut. Mudah2an sedikit tulisan ini dapat memperkaya koleksi `rsip tentang kebudayaan Tionghoa yang memang sangat minim di Indonesia.

Perlu diingat bahwa ada kemungkinan tulisan yang saya susun berdasarkan sumber-sumber yang ada hanyalah legenda, namun dilain pihak ada beberapa poin penting yang memang ada secara konkrit dan merupakan fakta. Demikian pula dalam kisah-kisah legenda ada banyak hal yang merupakan fakta kemudian ditambahkan sedemikian rupa baik dari isi maupun cerita untuk lebih bisa dimikmati pada jamannya dan kemudian baru di otentik kan pada jaman berikutnya dalam rupa tulisan, teater dan sebagainya. Misalkan cerita Hercules di Yunani atau Gatotkaca di Indonesia serta banyak kisah dibawah ini yang kedengarannya sulit dipercaya di jaman sekarang.

Bedanya adalah budaya Tionghoa kemudian sebagian dijadikan sebagai pegangan dalam kesehariannya hingga kini sebagian besar tidak lagi dapat dibedakan antara bagian mana yang merupakan Legenda dan bagian mana yang berupa Fakta. Apalagi, sama seperti bangsa lainnya di dunia, di jaman kekaisaran kuno Tiongkok banyak mempercayai kisah-kisah misteri yang mencampurkan antara tahyul dan fakta.

Sehingga dalam mebaca tulisan saya berikut, diharapkan pembaca bisa bijaksana untuk memahami dengan pertimbangan sendiri bahwa Legenda inilah yang menjadi cikal bakal asal usul adat istiadat Tionghoa saat ini. Mungkin di jaman ini banyak yang terlihat janggal dan aneh, namun demikian banyak pula yang merupakan fakta sebenarnya yang dibumbui pada jamannya untuk menjadi lebih menarik dinikmati. Saya secara pribadi mempercayakan sepenuhnya kepada pembaca untuk bijaksana dalam berargumen dan menikmati kisah-kisah legenda abadi ini layaknya banyak hal didunia ini yang belum bisa dijawab secara akal ilmu pengetahuan.

Akhir kata, selamat menikmati perjalanan anda untuk menelusuri kembali asal-usul penting sebuah budaya Bangsa Tionghoa.
Kepercayaan Masyarakat Tionghoa
Sejarah kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi – mitologi. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa mulai menuliskan pandangan mereka terhadap alam semesta ini. Mereka menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian) dan bumi (Di) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun Dun). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan Gu (Cerita Legenda) mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau. 
Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan Gu Kai Tian Di) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan Shi Tian Wang). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan.
Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu Wa yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu Xi yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba Gua (8 diagram) dan Shen Nung yang mengajari cara bertani, ahli obat2 tradisional dan memperkenalkan minuman teh.


Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian Jie), alam Bumi (Ming Jie) dan alam Baka (You Jie). Dan dalam perkembangannya akhirnya lahir aliran yang disebut sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. 
Pada dasarnya, ada beberapa orang yang mengartikan Tri-Dharma sebagai kepercayaan tradisional yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), dan masing – masing saling mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas – batas tertentu. Dan ada pula yang mengatakan, di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini.
Konsep Tiga Alam
Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing – masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. 
Alam Langit (Tian Jie) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja – raja Langit (Tian Wang) dan dewa-dewi langit (Tian Shen). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang – orang besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya (dipercaya) dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar – kaisar legendaris seperti Yao, Xun dan Yu adalah bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain. 
Alam Bumi (Ming Jie) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit (dianggap) bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang Jian atau pun Ren Jian. 
Alam Baka (You Jie) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh (Ling) dan hantu – hantu (Gui) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, (dipercaya) ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi Dian Yan Luo) dan 18 Tingkat Neraka (Shi Ba Ceng Di Yu). 
Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng Po dan melewati jembatan Nai He. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya.
Hubungan dan Interaksi Antar Tiga Alam Alam Langit, alam Bumi dan alam Baka adalah mempunyai hubungan satu sama lain dan dapat berinteraksi di antaranya. Kepercayaan leluhur orang Tionghoa bahwa ada kehidupan setelah kematian, seseorang yang telah meninggal akan menjadi roh (Ling) ataupun hantu (Gui). 
Roh ini terbagi atas roh yang baik dan jahat. Roh yang dihormati dan dikenang oleh keturunannya sehingga dapat menjaga, melindungi dan membawa berkah pada keluarga anak cucunya adalah roh leluhur yang baik. Sedangkan roh yang tidak mendapat penghormatan, perlakuan layak dan wajar oleh keturunannya ataupun yang meninggal secara tidak wajar biasanya merupakan roh yang jahat. Roh yang jahat inilah yang biasanya kita kenal dengan sebutan hantu. 
Namun, tidak semuanya akan menjadi roh ataupun hantu. Ada tokoh tertentu yang berjasa dan berkontribusi besar bagi masyarakat, kebudayaan dan negara dipercaya akan naik derajatnya menjadi dewa-dewi yang patut dihormati masyarakat luas untuk mengenang dan menghormati jasa mereka. Banyak dari dewa-dewi leluhur orang Tionghoa yang sebenarnya merupakan tokoh sejarah yang benar – benar pernah hidup pada masanya dan bukan cuma legenda atau mitologi. Masing – masing dewa-dewi tersebut mempunyai peranan dan kelebihan masing – masing pula. seperti Guan Gong (nama asli Guan Yun-chang) yang hidup masa Dinasti Han akhir (Tiga Negara) dipuja sebagai Dewa Perang yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan, lalu Ma Zhu Niang-niang (nama asli Lin Mo-niang) yang hidup di zaman Dinasti Sung yang dipuja sebagai Dewi Samudera yang melambangkan bakti seorang anak kepada orang tuanya. 
Dari semua bentuk interaksi ini, yang paling nyata dan penting dalam kepercayaan tradisional ini adalah upacara merayakan ulang tahun dewa-dewi (Wei Shen Zuo Shou) dan membantu roh untuk terbebas dari penderitaan (Ti Gui Cao Sheng, dalam agama tertentu dapat disamakan dengan pelimpahan jasa). Kedua upacara ini biasanya diselenggarakan bersamaan pada hari ulang tahun dari dewa-dewi tersebut. Semua ini dilakukan demi penghormatan kepada dewa-dewi dan roh – roh yang dianggap dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Bentuk – bentuk ritual kepercayaan ini sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Namun di dalam perbedaan tersebut, persamaannya masih tetap lebih menonjol karena dewa-dewi yang dipuja dan inti dari penghormatan tersebut adalah sama hakikatnya.

Pengertian Dewa
Dewa adalah sebuah ‘Sebutan’ posisinya hampir serupa dengan sebutan lain seperti misalnya ‘Sarjana’. Sebutan ini diberikan kepada ‘Sosok’ yang telah sukses dalam mencapai ‘Kesempurnaan’ hidup secara menyeluruh. (Baca: Spiritual)
Dalam bahasa aslinya Dewa disebut ‘Shen Sian’, merupakan sebutan yang mewakili Dewa-Dewi secara menyeluruh. Dimana jika dibedakan lagi, akan terdapat 2 kelompok Dewa yaitu:
Kelompok Dewa yang disebut ‘Shen’. Kelompok ini terkesan ‘Formal’, (mungkin) seperti pejabat militer. Contohnya antara lain: Dewa Kwan Kong.
Kelompok Dewa yang disebut ‘Sien / Xian’. Kelompok ini terkesan ‘Santai’, (mungkin) seperti pejabat sipil. Contohnya antara lain Pat Sian / Delapan Dewa.
Sebenarnya kedua kelompok tersebut sama saja, manusia ‘melihat’ ada perbedaan lalu menyebutnya berbeda.
Selain itu Dewa-Dewi juga digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu:
Dewa-Dewi Sien Thien. Maksudnya adalah Dewa-Dewi yang tidak diketahui sejarahnya. Dan mungkin sekali keberadaannya sudah ada jauh sebelum adanya peradaban manusia, atau bahkan (dipercaya) sudah ada jauh sebelum bumi tercipta. Contohnya antara lain: Yi Vang Ta Ti (Tien Kung), Ciu Thien Sien Nie dll.
Dewa-Dewi Hou Thien. Maksudnya adalah kelompok Dewa-Dewi yang berasal dari manusia yang (dianggap) telah mencapai kesempurnaan. Karenanya seringkali Beliau memiliki catatan otentik kehidupan saat menjadi manusia. Contohnya antara lain Pat Sian, Tien Sang Shen Mu. Juga legenda Hakim Bao yang menjadi Hakim Neraka.
Dalam perkembangannya Agama Rakyat tercampur dengan ajaran Buddha. Sehingga kadang umat Klenteng mencampur adukkan antara Shen Sien yang diterjemahkan sebagai Dewa dengan deva, yaitu makhluk yang hidup di alam surga menurut ajaran Buddha. Apalagi deva juga diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi dewa. Padahal sebenarnya pengertian antara Shen Sien dengan deva tidaklah sama.
Untuk bisa mencapai tingkat Shen Sien, maka manusia harus Membina Diri untuk mencapai kesempurnaan yang targetnya antara lain:
§ Mencapai kesempurnaan Fisik.
§ Mencapai kesempurnaan batin / kesadaran dengan mencapai Pencerahan.
§ Mencapai kesempurnaan Sukma dengan mencapai Keabadian.
§ Memupuk perilaku Kebajikan, menjadi manusia Bijaksana.
Selain itu ada lagi target akhirnya yaitu ‘Tien Ren Hek Yi’ atau ‘kembali’ ke Wu Chik. Sedangkan agar ‘terlahir’ di alam surga menjadi deva (dipercaya) "targetnya" tidaklah selengkap hal diatas. Selain itu ada lagi sosok yang ‘menjadi’ Dewa karena ‘didewakan’, namun ini adalah suatu persoalan tersendiri.
 
Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Kepercayaan Tradisional Tionghoa

Secara garis besar maka jenis – jenis dewa-dewi yang dipuja dalam kepercayaan tradisional ini berdasarkan asal usulnya adalah :
  • Bentuk penghormatan kepada alam (Ze Ran Chong Bai)
Kategori ini termasuk dewa-dewi yang paling awal karena telah ada sejak zaman dahulu kala jauh sebelum munculnya penghormatan jenis lainnya. Karena di zaman dulu, alam merupakan tantangan keras bagi leluhur bangsa Tionghoa untuk bertahan hidup, maka leluhur bangsa Tionghoa berusaha hidup harmonis dalam kerasnya alam. Catatan yang perlu diingat adalah sebagian dari Dewa jenis ini memiliki history sebagai manusia yang pada masa hidupnya adalah merupakan manusia biasa, pejabat bahkan Raja yang semuanya pernah berjasa bagi masyarakat dan dikagumi. Dewa-dewi dari jenis penghormatan ini misalnya :
    • Yu Huang Da Di = Raja Langit, merupakan bentuk penghormatan pada langit.
    • Fu De Zheng Shen (Tu Di Gong atau Tho Te Kong) = Dewa Bumi/Tanah, merupakan penghormatan pada bumi.
    • Wu Lei Yuan Shuai (Lei Gong atau Li Kong) = Dewa Petir, merupakan penghormatan pada petir.
    • Dan masih banyak lagi
  • Bentuk penghormatan kepada leluhur (Zu Xian Chong Bai) Kategori ini muncul setelah adanya pengaruh Konfusianisme yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada leluhur, terutama yang berjasa dan berkontribusi bagi orang banyak. Bila tidak ada leluhur, tentu kita tidak akan berada di sini sekarang.
  • Dewa-dewi bentuk penghormatan terdiri dari tokoh-tokoh sejarah besar, tokoh-tokoh mitologi yang dianggap sebagai leluhur jauh maupun dekat, misalnya :
    • Tokoh2 sejarah : Kaisar pra-Dinasti Xia seperti Yao, Shun dan Yu.
    • Kong Zi Gong = Konfusius/Khonghucu, lambang kebijakan.
    • Fo Zu = Buddha Sakyamuni/Hud Cho.
    • Tai Shang Lao Jun = Lao-tse.
    • Guan Sheng Di Jun = Kwan Kong, lambang kesetiaan.
    • Bao Gong = Bao Zheng/Hakim Bao, lambang keadilan.
    • Tian Shang Sheng Mu = Ma Zu/Ma Cho, lambang bakti anak terhadap orang tua.
  • Tokoh mitologi (Dalam pengertian belum ditemukan bukti otentik bahwa tokoh-tokoh ini pernah hidup sebagai manusia) :
    • Yuan Shi Tian Wang = Pan Gu, tokoh mitos penciptaan alam semesta.
    • Nu Wa Niang Niang = Nu Wa, tokoh mitos penciptaan manusia.
    • Qi Tian Da Sheng = Sun Go Kong, tokoh mitos dalam cerita Perjalanan ke Barat (Xi You Ji).
    • Xuan Yua Shi = Huang Di, kaisar purba di abad 27 SM.
    • Wu Ke Da Di = Shen Nung, ahli pertanian dan obat tradisional.
  • Bentuk lain – lain (Shu Wu Chong Bai) Kategori ini adalah bentuk penghormatan yang tidak termasuk ke dalam kategori di atas. Misalnya :
    • Men Shen = Dewa Pintu.
    • Zao Jun = Dewa Dapur.
Bila diperhatikan, maka hampir semua dari dewa-dewi yang ditinggikan di dalam kepercayaan tradisional ini adalah dimanusiakan tanpa memandang bentuk asalnya. Ini terutama terlihat dalam bentuk penghormatan pada alam maupun bentuk – bentuk lain. Namun apapun bentuk yang ditunjukkan (patung, papan nama penghormatan dan lain – lainnya), yang dipuja dan dihormati tentu bukan bentuk real darinya. 
Jadi yang perlu diingat adalah yang dilakukan dalam kepercayaan tradisional ini bukanlah memuja sang patung ataupun papan tadi, namun adalah memuja dan menghormati dewa-dewi yang bersangkutan beserta kebajikan dan panduan hidup mereka.

Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Perkembangannya pada Peribadatan Beragama Masyarakat Tionghoa
Seringkali kita melihat prosesi gotong Toapekong, orang yang sujud berdoa, bertanya dengan ciamsie dan lain-lain. Pemandangan ini dapat kita lihat di kelenteng-kelenteng. Pada kenyataannya, semua yang kita lihat itu hanya permukaan dari kepercayaan orang Tiongkok, permukaan itu mengandung pemahaman yang luas dan berisi makna filosofis yang mendalam. Makna dan pemahaman itu tidak dapat kita lihat atau pahami seperti kita hanya melihat patung-patungnya atau prosesinya.
Ketika kita melihat seorang nenek tua yang dengan sujud bersembayang, pasti ada banyak orang yang tidak mengerti beranggapan bahwa nenek tua itu percaya tahayul, menyembah berhala, tidak berpendidikan, kuno dan sebagainya. Tapi seandainya kita merenungkan lebih mendalam, nenek tua yang begitu bersujud tentunya keyakinan yang timbul dari hatinya sendiri dan ada pengharapan serta keyakinan yang teguh dan kuat. Tidak perduli keyakinan, pengharapan itu bersifat psikologis atau tidak, bagi saya nenek tua itu sedang mencari ketenangan dan rasa aman dari dewa dewi yang ia yakini.
Dalam memandang masalah dewa dewi ini diperlukan suatu bentuk toleransi yang besar sehingga cara memandang kita akan menjadi berbeda dan kita bisa hayati betapa dalamnya makna filosofis yang terkandung didalamnya serta betapa berharganya kepercayaan masyarakat itu. 
Disini penulis bersikap netral, Tapi disisi lain saya mencoba untuk menghormati dewa dewi Tiongkok yang merupakan bagian dari budaya Tionghoa dan pada perkembangannya telah melewati batasan-batasan keagamaan. 
Diatas kita telah mengenal pemilahan dewa dewa Tiongkok. Disini kita mencoba melihat apa yang sebenarnya dipikirkan masyarakat jaman itu dari unsur psikologi dan filosofis yang kemudian membuat Dewa dan Dewi Tionghoa dipuja dan dihormati. 
Jaman dahulu , orang Tiongkok memiliki peribahasa , "Pintar dan jujur adalah Shen" Banyak tokoh-tokoh jaman purba menjadi Shen (diangkat oleh masyarakat dan kerajaan) karena jujur, berjasa, pintar. Yang termasuk kategori ini amat banyak sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa disini Taoism menyerap banyak dewa-dewa rakyat, walau tidak semua diserap. Confuciusm bahkan sampai sempat membuat pendaftaran dewa-dewa rakyat yang pantas dan tidak pantas dihormati karena sangat banyaknya. Pendataan terakhir yang dilakukan oleh Confuciusm adalah pada masa dinasti Qing. 
Orang Tiongkok juga beranggapan manusia mati menjadi Gui atau Shen (Gui = Setan dan masuk neraka, Shen = Dewa dan masuk Surga, ibaratnya sama seperti agama umumnya yang kita kenal beserta para nabi-Nya). Yang menjadi gui maka akan kedalam bumi. Perbedaannya disini dengan pemikiran barat, tidak selalu gui itu jahat dan mencelakakan. Dalam pemikiran rakyat Tiongkok kuno, ada 2 tempat dasar bumi bagi mereka yang meninggal. Tai Shan & Feng Du merupakan 2 tempat tersebut. 
Setelah mengenal jenis-jenis dewa dalam pandangan Taoism, disini saya mencoba menjelaskan makna dan perkembangan bagi masyarakat.
Dalam menjelaskan hal-hal tersebut diatas, saya tidak membahas masalah tingkatan 36 surga, tingkatan dewa-dewi, perbedaan shen dan xian. Karena jika hal tersebut diuraikan bisa terlalu panjang dan masih butuh penelitian lebih lanjut. 
Pada prinsipnya fungsi dan makna dewa-dewi Taoism tidak berbeda jauh dengan dewa-dewi Buddhism. Perlu kita ketahui bahwa dalam perkembangan cerita dewa-dewi Tiongkok agak berbeda dengan dewa-dewi Yunani. Sepanjang pengetahuan saya, cerita dewa-dewi Yunani kebanyakan adalah dewa yang sering mempermainkan manusia, menikahi manusia dan bersenang-senang. Sedangkan dewa dewi Tiongkok adalah dewa yang membantu manusia,misalnya Nu Wa. Ada pula tokoh yang berkorban untuk membantu orang lain, misalnya Huang Da Xian atau Huang ChuPing. Ada pula yang mengajarkan kebenaran bagi masyarakat, misalnya Zhao Jun. 
Dalam perkembangannya, ada pendapat yang mengatakan bahwa Dewa – dewi tersebut di sembah untuk mengingatkan kebajikan yang pernah mereka lakukan. Hal ini dibagi dalam beberapa bagian fungsi. Antara lain :
  • Fungsi sebagai sarana untuk mengajarkan kebajikan Mengajarkan kebajikan adalah salah satu pilar dari semua agama. Tiada agama yang tidak mengajarkan kebajikan. Disini dalam perjalanan sejarah Tridharma (saya menyingkat ke 3 agama menjadi Tridharma agar lebih mudah) di Tiongkok menyerap dewa-dewi sebagai salah satu sarana untuk mengajarkan kebajikan. Kebanyakan kisah-kisah dewa memiliki makna kebajikan yang mendalam. Misalnya Zhang Fu De atau Fu De Zheng Shen, Mu Jian Lilan
  • Dewa-dewi sebagai penolong Selain sebagai pengajar kebajikan , banyak dewa-dewi adalah penolong manusia dan segala mahluk. Baik dari segi mitos maupun fakta sejarah. Cara menolongpun berbeda-beda.
  • Menolong yang sakit dan meninggal. Tokoh pengobatan Sun Se Mao dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu pengobatan yang tinggi sekali , bahkan pernah menolong seorang bayi dalam kandungan ibunya yang telah meninggal 1 minggu. Beliau digelari sebagai Yao Wang. Wu Ben yang juga sebagai tokoh pengobatan digelari Bao Sheng Da Di. Dalam Buddhism juga mengenal Bhaisajyaguru Buddha. 3 kaisar purba yaitu Fu Xi, Shen Nong dan Huang Di masuk dibanyak kategori dimana salah satunya adalah sebagai penolong bagi yang sakit dan meninggal. 
  • Membasmi kejahatan dan memakmurkan masyarakat. Banyak dewa-dewi merupakan pembasmi siluman atau setan yang mengganggu rakyat. Misalnya Zhang Dao Ling atau Zhang Tian Shi, Kim kong , Zhong Tan Yuan Shuai. 
  • Menyebarkan kebajikan, menolong orang yang menderita, menolong yang kekurangan. Dewa-dewanya seperti Ji Gong, Dan Yang Zhen Ren,Bao Qing Tian. 
  • Menolong mereka yang telah meninggal, roh-roh gentayangan, roh- roh penasaran, menyadarkan roh-roh yang tersesat. Bagi keluarga yang ditinggalkan oleh yang dikasihi tentunya memerlukan suatu bentuk keyakinan kemanakah perginya, siapa yang membantu mereka, bagaimana seandainya orang jahat yang meninggal, siapa yang membantu mereka yang berada dineraka dan lain-lain. Berbeda dengan pemahaman agama lain, dewa-dewi Tiongkok percaya bahwa roh-roh jahat juga bisa disadarkan, mereka yang terjebak dalam neraka bisa ditolong dan diangkat ke surga dengan bantuan para dewa. Jadi dalam pemikiran rakyat Tiongkok, neraka bukanlah bentuk yang abadi dan tidak ada penyelamat. Istilah populer dalam Buddhism adalah "Kalau bukan Aku yang ke neraka menyelamatkan mereka yang menderitai siapa lagi", "Aku tidak akan memasuki nirvana selama neraka masih penuh." Taoism juga mengenal tokoh-tokoh seperti Buddhism itu, misalnya Tai Yi Jiu Ku Tian Zun, Dong Yue Da Di. Ksitigarbha Bodhisatva.
  • Fungsi sosial masyarakat dan moralitas. Masyarakat yang mengenal makna-makna yang terkandung dibalik dewa- dewi tentunya akan mengetahui hukum karma, tidak berbuat jahat, percaya dengan berbuat kebajikan akan menuai buah yang baik, memiliki sifat welas asih, menghargai tokoh-tokoh yang berjasa, menghargai para leluhur yang dengan kebajikannya menjadi dewa. Mereka juga tidak perlu takut menghadapi kematian karena dewa-dewanya akan menolong mereka memberi ketenangan dan rasa yakin dari misteri dibalik pintu kematian. Secara umum, orang Tionghua tidak begitu perduli akan dunia kematian, karena mungkin telah tertanam dalam pikiran mereka bahwa dengan berbuat baik maka surga berada ditangannya.
  • Bodhisatva Bodhisatva merupakan dewa yang amat sangat banyak dipuja oleh orang-orang Tionghua, terutama Avalokitesvara Bodhisatva yang dipercaya menolong manusia dan welas asih. Selain itu masih ada bodhisatva lainnya seperti Ksitigarbha bodhisatva, Manjusri Bodhisatva, Maha Cundi Bodhisatva dan lain-lain. Rata-rata bodhisatva memiliki metta karuna untuk menyelamatkan segala mahluk.
  • Pelindung Dharma. Dewa pelindung dharma kadang suka rancu menjadi bodhisatva. Qie Lan Pu Sa yang sering disebut orang, padahal merupakan kumpulan dari 18 shan shen. Lebih tepat menyebutnya Qie Lan Shen. Figur Qie Lan dalam Buddhisme Tiongkok adalah tokoh pahlawan terkenal Guan Yun Zhang. Qie Lan Shen adalah pelindung umat Buddhism. Yang lain adalah Wei Tuo Shen atau kadang sering disebut Wei Tuo Pusa, Wei Tuo Tian. Dipercaya Beliau merupakan pelindung vihara. Selain yang diatas masih ada lagi yang disebut Tian Long Ba Bu, tapi ingat yang dimaksud Tian Long Ba Bu itu bukan cerita silat karangan Jin Yong. 
Demikianlah sedikit yang bisa saya bagikan dalam penelusuran kebudayaan asal usul kepercayaan masyarakat Tionghoa. Mungkin ada banyak diantara rekan sekalian yang bingung dan tadinya tidak memahami arti dalam setiap langkah peribadatan yang dilakukan. Yang perlu diingat adalah setiap manusia baik dijaman dulu maupun saat ini butuh tempat untuk berpegang. 

Setiap manusia berpegang pada apa yang dia percaya, dengan percaya kepada kebaikan, kejujuran, kesetiaan dan keadilan, masyarakat Tionghoa percaya bahwa dirinya bisa "tertolong" bisa "terselamatkan". Pada dasarnya ini sama dalam semua ajaran, bahwa kita mempercayai kebaikan. Kepercayaan ini sendiri tidak membuat masyarakat Tionghoa yang "mengerti" mengagungkan lainnya dan tidak berdoa kepada Tuhan. Thian Kung (Tuhan) dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa adalah pusat dari segalanya. Dengan mengerti hal ini maka kitapun lebih paham mengapa saat masyarakat Tionghoa berdoa selalu memulai dari depan yakni ke hadapan Thien Kung dan kemudian baru bersujud kepada Shen Sian untuk menghormati dan mengagumi serta meneladani apa yang Beliau ajarkan.

Semoga dengan ini semua masyarakat Tionghoa lebih mengerti dan tidak tercebur pada kesalahan pemahaman yang akhirnya membuat salah kaprah dan perbuatan yang keliru. Dengan demikian asal usul serta adat istiadat tidak hilang karena pemikiran yang keliru.

Sumber Penulisan : 
- Li Xiaoxiang,"Origins of Chinese People and  Customs 
- Seminar "Budaya Tionghoa di Indonesia" oleh Madame Claudine Salmon & Myra Sidharta 21 Oct'11
- Confucius, 1967, Li Chi: Book of Rites, trans. James Legge, New Hyde Park: University Book
- Jung, Hwa Yol, 1981, “The Orphic Voice and Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, pp. 329-340
- Kohr, Gary, 2201, “Environmental Chi –Feng Shui” in Living Chi: The Ancient Chinese Way to Bring Life Energy and Harmony into Your Life, Boston: Tuttle Publishing
- Lao Tzu, 1995, Tao Te Ching: The Book of Meaning and Life, trans. H.G. Oswald, New York:
Penguin Books
- Lie Tek Tjeng, 1983, Studi Wilayah Pada Umumnya, Asia Timur Pada Khususnya, Bandung: Penerbit Alumni
- Pound, Ezra, 1969, Confucius: The Graet Digest, The Unwobbling Pivot, The Analects, New York: New Direction Publishing Corporation

PROSESI PERNIKAHAN ADAT CHINA

Pernikahan adalah momen yang paling luar biasa dalam kehidupan manusia dimana saat itu baik sang pria maupun sang wanita memutuskan untuk membentuk keluarga sendiri dan menyambung keturunan mereka.

Sehingga melihat hari, jam dan tanggal baik merupakan salah satu hal yang wajib diperhitungkan bagi tradisi adat China. Diharapkan, hari, tanggal dan jam baik tersebut adalah sebagai doa sehingga kedua mempelai bisa menikmati kehidupan pernikahan mereka dengan bahagia sampai akhir hayat mereka.

Dengan banyaknya kebutuhan yang harus dilengkapi dan kekurang pengetahuan akan hal itu, tidak jarang banyak pasangan yang akhirnya menyerahkan kepada orang tua mempelai. Pesta pernikahan bukan hanya sebagai simbol sementara, bahwa pasangan telah resmi dalam ikatan. Namun bagi keluarga sepuh yang sangat memperhatikan adat istiadat, mereka menganggap bahwa pernikahan adat China haruslah sakral, bukan hanya untuk kedua pasangan namun juga ikatan antara kedua belah keluarga.

Dalam prosesi pernikahan Cina yang otentik, terdapat aturan khusus yang disebut 3 (tiga) kata & 6 (enam) etika (三書六禮). Dimulai dari Meminang, Membawa Antaran Pinangan, Membawa Hantaran Kawin (过大礼/纳彩), Tunangan, Menjemput Penganten dan Upacara Pernikahannya sendiri.

Pada masa awal, bila seorang pemuda atau orang tua pemuda tertarik pada seorang pemudi, maka diutus seorang mak comblang kerumah pemudi tersebut untuk bertemu dengan orang tuanya membawa hantaran pinangan. Mak Comblang segera menukarkan kartu yang berisi nama, usia dan hal-hal lainnya sehubungan dengan pemuda-pemudi tersebut untuk melihat adanya kecocokan Suan Ming (Chinese fortune telling). Dan bila kedua pihak sudah sepakat, maka dibuatlah acara pertunangan.

Pada jaman era dinasty dimana Paham Confusius sebagai pondasi negara, pernikahan harus dilakukan oleh kedua insan dengan nama marga yang berbeda, dan setelahnya tugas keduanya adalah untuk melanjutkan garis keluarga pihak laki-laki. Sebelum jaman ini, kebanyakan pernikahan hanyalah berupa pasangan pria dan wanita yang hidup bersama tanpa upacara pengukuhan ikatan apapun.

Pernikahan & Mitos
Mitos pernikahan paling populer adalah mitos pernikahan Nüwa dan Fu Xi. Pada dasarnya keduanya merupakan saudara. Kisahnya bermula dimana saat itu bumi belumlah memiliki populasi, sehingga keinginan mereka untuk menikah dimaklumi namun keduanya merasa malu akan hal tersebut. Sehingga mereka naik ke Gunung Kun Lun untuk berdoa kepada langit. Bila langit mengijinkan pernikahan mereka, buatlah keajaiban untuk membuat mereka tidak tampak/dalam samaran.

Kemudian langit mengijinkan pernikahan mereka dan membuat wajahnya Nüwa menjadi samar. Namun untuk menutup rasa malunya, Nüwa menutup wajahnya dengan kipas. Hingga saat ini dibeberapa pedesaan Cina masih digunakan kipas untuk menutup wajahnya pengantin wanita.

Lamaran dan Mahar
Kurang memahami pernik yang digunakan dalam adat upacara perkawinan sering dijumpai dalam masyarakat modern keturunan di Indonesia. Namun sekarang sudah terbantu dengan banyaknya dijual bermacam – macam asesoris untuk perkawinan dengan menyesuaikan adat China baik yang masih otentik dan juga ada yang sebagai perhiasan untuk memperindah prosesinya.

Dalam tradisi China proses lamaran dilakukan kira-kira seminggu sebelum berlangsungnya pernikahan. Lamaran merupakan pemberian barang dari mempelai pria untuk mempelai wanita yang nantinya akan digunakan oleh kedua calon mempelai untuk kehidupan setelah masa pernikahan. Barang yang diserahkan biasanya melambangkan kelanggengan, kesuburan dan juga kebahagiaan untuk pasangan. Yang unik dari barang lamaran pada adat ini ialah banyaknya nominal 9 (jiu) atau 8 (fat) yang menjadi kunci pokok langgeng dan berkembangnya kebahagiaan bagi kedua mempelai.

Barang yang menjadi hantaran biasanya berupa:

- Uang; dalam masyarakat modern biasanya jumlahnya sudah ditentukan bersama contohnya Rp. 9.999.900 atau pada masa otentik yakni emas dalam kadar angka 9.
- Perhiasan berupa kalung, gelang, anting didalam kotak merah (khusus bagi orang canton, dibuat dalam 4 barang emas 四点金).
- Peralatan sehari – hari (peralatan mandi, peralatan makan, dll),
- Satu set peralatan Tea Pay, Termasuk Lilin Naga & Phoenix 龙凤烛
- Kue Pia atau bolu (dibagikan kepada sanak saudara yang membantu),
- Makanan laut yang sudah dikeringkan (juhi, sirip ikan “yu che”)
- Kacang – kacangan (almond, hijau & merah) atau saat ini diganti dengan kue kacang-kacangan,
- Sepasang kaki babi untuk melambangkan keselamatan,
- Kelapa bulat yang ditempel aksara Chinese berarti ‘Double Happy’,
- Buah – buahan segar (jeruk, apel, anggur dll.)
- Akar teratai “Lian Au”, melambangkan rukunnya tiga generasi; orang tua, anak dan cucu, sedangkan buah teratai kering “Lian Ce”, melambangkan keturunan.
- Permen atau gula batu melambangkan manisnya kehidupan semanis mempelai wanita.
- Brandy

Selain itu juga diberikan angpau/uang sebagai "pengganti" biaya pengantin wanita yang diberikan untuk orang tua mempelai wanita yang hanya disediakan bila pengantin wanita akan ikut dengan pengantin pria setelah menikah nanti.

Dalam pengembaliannya, keluarga wanita menyiapkan 2 (dua) botol syrup untuk diganti dengan brandy. Semua hantaran dihitung dengan jumlah tepak / baki / dulang yang sama dengan yang dihantar sebelumnya ditambah dengan lilin phoenix sepasang. Dan untuk Orang hokkian, diberikan juga pisang sebagai pengembaliannya serta sepatu untuk pengantin pria.

Menghias Kamar 按床

Setelah semua acara lamaran sudah dipersiapkan, kini saatnya merapikan tempat peraduan kedua mempelai. Tradisi merias kamar pengantin dilakukan juga seminggu sebelum Hari H berlangsung. Menghias kamar merupakan salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh para orang tua kedua mempelai.

Di era modern, menghias kamar dapat dilakukan oleh para perias pengantin. Namun bagi masyarakat Tionghoa dulu, merias kamar menjadi tradisi yang ditunggu – tunggu oleh para keluarga kedua calon mempelai. Orang yang menghias kamar pengantin biasanya ialah kerabat yang sudah menikah dan kehidupan pernikahannya terkenal langgeng, ini melambangkan agar dapat menjadi contoh bagi kedua calon mempelai. Didalam tempat tidur diletakkan beberapa barang sebagai berikut (yang mana tidak saya-penulis, indonesiakan untuk tidak mengurangi arti) : dried longans, lotus seeds, red dates, persimmons, sprig of pomegranate leaves together with 2 red packets are placed on the bed.

Menghias kamar pengantin dengan warna merah melambangkan kebahagiaan dan semangat hidup, lampu lentera juga kerap diletakkan di dalam kamar. Dengan maraknya lampu yang ada, diharapkan pernikahan ini akan menerangi bagi pasangan dalam melangkah kehidupan bersama. Sebagai simbol lancarnya keturunan mempelai, kamar yang sudah rapih biasanya ditiduri oleh bayi atau balita serta diletakkan lampu sepasang disebelah tempat tidur calon pengantin.

Dari semua arti positif yang terkandung dalam setiap barang dan perbuatan, ada juga larangan yang tidak boleh dilakukan oleh para mempelai di dalam kamar ini yaitu salah seorang mempelai, baik itu mempelai pria maupun wanita, tidak diperkenankan tidur sendiri tanpa pendamping. Secara tidak langsung hal ini berarti menjauhkan mereka dari kehilangan salah satu pasangan, entah karena bercerai atau meninggal.

Semua benda didalam kamar ditempelkan dengan tulisan double joy 双喜 mulai dari barang-barang pribadi sampai meja rias dan lainnya. Selain itu hiasan yang umumnya digunakan saat jaman dynasty adalah potongan kertas/gambar bebek peking, naga dan burung phoenix dan semuanya ditempelkan sepasang.

Upacara
Pagi hari sesaat sebelum upacara dilakukan setelah selesai mandi, mempelai pria dan wanita diharuskan memakai pakaian putih. Sambil disisir 4 kali dari kepala hingga ujung rambut oleh kerabat dekat yang masih lengkap keluarganya 梳头, diucapkanlah juga empat kalimat ini : sisiran pertama “hidup bersama sampai rambut beruban (梳梳到尾)” sisiran kedua “rumah tangga harmonis (二梳百年好合)” dan sisiran ketiga “diberkati dengan banyak keturunan (三梳子孙满堂)” sisiran keempat "diberkati dengan panjang umur (四梳白发齐眉)".

Setelah melakukan ritual pagi, tibalah saatnya untuk upacara. Upacara dimulai dengan sembahyang untuk para leluhur demi meminta ijin berlangsungnya acara, setelah itu keluarga beserta kedua calon mempelai menikmati hidangan kue onde, ini melambangkan agar acara yang akan dilangsungkan berjalan dengan lancar, layaknya bola yang bergelinding.

Tibalah saatnya untuk Tea Pay, Fungsi dari Tea pay sendiri ialah layaknya perkenalan bagi para calon mempelai dengan keluarga dari kedua belah pihak. Selain itu upacara yang dapat berarti “jualan teh” ini juga sebagai penghormatan dari kedua calon mempelai kepada orang tua dan kerabat sepuh agar mendoakan mempelai menjadi pasangan yang bahagia lahir batin dalam susah dan senang.

Prosesinya pun cukup mudah, kedua mempelai berlutut atau membungkuk, sambil menjamu dan mempersilahkan kedua orang tua menikmati teh yang telah dituang oleh mempelai pria dan diberikan oleh mempelai wanita. Lalu setelah prosesi jamuan minum selesai, kedua mempelai dibayar atau diberi hadiah berupa angpao biasanya berisi perhiasan ataupun uang. Untuk perhiasan, orang tua biasanya langsung memakaikan kepada mempelai wanita dan untuk uang angpao akan di letakkan di atas nampan atau saku mempelai pria.

Semua prosesi adat di atas dapat dilakukan di jaman sekarang, hanya saja bila masih ada perhelatan lain, sebut saja seperti pemberkatan di gereja atau juga acara resepsi. Tidak menutup kemungkinan sebagian masyarakat telah menyederhanakan bagian dari adat tersebut.

Pada literatur kuno, dikisahkan bahwa pernikahan seyogyanya dilakukan pada malam hari dimana merupakan waktu yang tingkat keberuntungannya paling besar serta semua depan pintu ruangan ditempelkan banner merah 红彩帘.

Sumber Tulisan:
- Wolf, Arthur P. and Chieh-shan Huang. 1985. Marriage and Adoption in China, 1845-1945. Stanford University Press.
- Diamant, Neil J. 2000. Revolutionizing the Family: politics, love and divorce in urban and rural China, 1949-1968. University of California Press.
- ^ Rubie Sharon Watson, Patricia Buckley Ebrey, Joint Committee on Chinese Studies (U.S.) (1991). Marriage and inequality in Chinese society. University of California Press. p. 225. ISBN 0520071247. Retrieved 2011-05-12.
-
^ Romantic Materialism (the development of the marriage institution and related norms in China), Thinking Chinese, October 2011
- http://www.983wedding.com/chinese/

Hari Raya Cio Ko

Zhong Yuan Jie (Hok Kian: Tiong Gwan Cwe) diperingati setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek. Orang-orang pada umumnya juga menyebutnya sebagai Hari Raya Hantu (Ghost Festival).

Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka !!! Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.

Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.

Di daerah-daerah & propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.

Versi Buddhis Mahayana

Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :

Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).

Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa nyana, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.

Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya: Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu !

Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.

Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.

Setelah Maha Moggalana mendengarnya, lalu bertanya lagi : Semua orang yang berbakti, apakah boleh ikut serta dalam “Yi Lan Pen” ?

Sang Buddha menjawab : Sangat bagus ! Sangat bagus !

Ikut serta dalam Yi Lan Pen boleh membaca paritta Yi Lan Pen Jing. Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.

Pattidana Vs Cio Ko (Ulambana)

Sering orang salah pengertian bahwa upacara Pattidāna sama dengan upacara Cio Ko atau Cio Sie Kow yang dikenal sebagai sembahyang rebutan yang dilakukan di kelenteng-kelenteng Taois atau Vihara Avalokiteswara.
Upacara Cio Ko atau ”sembahyang rebutan“ berdasarkan kepercayaan dalam cerita See Yu atau perjalanan ke Barat. Upacara ini dilakukan setelah tanggal 15 Imlek bulan ke tujuh (Cit Gwee). Karena sebelum tanggal tersebut keluarga masih melakukan sembahyang leluhur di rumah atau di makam, sehingga disebut sebagai ”sembahyang kubur”. Upacara Cio Ko ditujukan untuk ”arwah” yang mendapat cuti berkunjung ke rumahnya tetapi keluarganya sudah tidak mengingat mereka lagi.
Sedangkan upacara Pattidāna berdasarkan kejadian ketika Raja Bimbisara di Rajagaha mengundang Buddha Gotama dengan para siswa-Nya santap siang. Karena sangat bahagia raja lupa untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhurnya yang terlahir di alam peta, sehingga pada malam hari mendapat gangguan dari peta-peta tersebut. Maka keesokan harinya raja mengundang kembali Guru Agung Buddha dan melimpahkan jasanya kepada leluhurnya.
Jadi upacara Pattidāna dapat dilakukan kapan saja bila kita mendapat kesempatan berbuat baik dan pikiran sedang bahagia. Upacara Pattidāna bukan ”upacara duka”. Paritta Avamaïgala dibaca atau diulangi agar yang mendengar dan setelah tahu artinya bisa berubah pikiran dari bersedih menjadi bijaksana dan rela melepas orang yang dicintai.

Sumber Tulisan :
1. Saduran "Journey to the west"
2. http://jindeyuan.org/ghost-festival-cioko/index.htm#comment-157
3. Dhammadesana Bhikkhu Sri Subalaratano (Minggu, 29 Agustus 2010)

No comments:

Post a Comment