Tuesday, July 15, 2014

SEKILAH SEJARAH MARGA TIONGHOA DI INDONESIA





Marga Tionghoa merupakan marga yang digunakan orang Tionghoa. Marga (Hanzi: 姓氏, hanyu pinyin: xingshi) biasanya berupa satu karakter Han (Hanzi) yang diletakkan di depan nama seseorang. Ada pula marga yang terdiri dari 2 atau bahkan 3 sampai 9 karakter marga seperti ini disebut marga ganda (Hanzi: 復姓, hanyu pinyin: fuxing). Marga Tionghoa juga diadopsi oleh suku-suku minoritas yang sekarang tergabung dalam entitas Tionghoa. Marga dalam suku-suku minoritas ini biasanya berupa penerjemahan pelafalan dari bahasa suku-suku minoritas tadi ke dalam Hanzi. Penggunaan marga di dalam kebudayaan Tionghoa telah mempunyai sejarah selama 5.000 tahun lebih.
Evolusi nama Tionghoa
Di zaman dahulu, menurut catatan literatur kuno ada peraturan bahwa nama seorang anak biasanya baru akan ditetapkan 3 bulan setelah kelahirannya. Namun pada praktiknya, banyak yang memberikan nama sebulan setelah kelahiran sang anak, bahkan ada yang baru diberikan setahun setelahnya. Juga ada yang telah menetapkan nama terlebih dahulu sebelum kelahiran sang anak.
Di zaman Dinasti Shang, orang-orang masih menggunakan nama dengan 1 karakter. Ini dikarenakan mereka belum mengenal marga dan juga karena jumlah penduduk yang tidak banyak.
Sebelum zaman Dinasti Han, biasanya nama Tionghoa hanya terdiri dari 2 karakter yang terdiri dari 1 karakter marga dan 1 karakter nama. Namun setelah Dinasti Han, orang-orang mulai memiliki sebuah nama lengkap yang terdiri dari 3 karakter (1 karakter marga dan 2 karakter nama pribadi yang terdiri dari 1 karakter nama generasi dan 1 karakter nama diri) selain daripada nama resmi mereka yang 2 karakter itu.
Di zaman Dinasti Jin, orang-orang baru memakai nama dengan 3 karakter seperti yang kita kenal sekarang. Nama menjadi sebuah hal yang penting bagi seseorang dipengaruhi oleh pemikiran Konfusius tentang pentingnya penamaan bagi penonjolan karakter seseorang.
Pada kasus-kasus yang sangat langka, seseorang dapat memiliki nama dengan lebih dari tiga karakter :
1. Dua karakter marga (seperti Sima, Zhuge), satu karakter generasi, dan satu karakter nama diri. Contoh: Sima Xiangru
2. Satu karakter marga dan tiga karakter nama. Contoh: Hong Tianguifu (anak dari Hong Xiuquan)
3. Nama marga suku minoritas yang mengadopsi nama Tionghoa. Contoh: suku Manchu yang menguasai dinasti Qing menggunakan marga Aisin Gioro; kaisar dinasti Qing terakhir bernama Aisin Gioro Puyi (enam karakter)
Tingkatan marga
Di zaman dulu, marga-marga tertentu mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada marga-marga lainnya. Pandangan ini terutama muncul dan memasyarakat pada zaman Dinasti Jin dan sesudahnya. Pengelompokan tingkatan marga ini terutama juga dikarenakan oleh sistem feodalisme yang mengakar zaman dulu di China. Ini dapat dilihat di zaman Dinasti Song misalnya, Bai Jia Xing yang dilafalkan pada masa tersebut menempatkan marga Zhao yang merupakan marga kaisar menjadi marga pertama.
Di masa sekarang tidak ada pengelompokan tingkatan marga lagi di dalam kemargaan Tionghoa. Bila beberapa marga didaftarkan maka biasanya diadakan pengurutan sesuai dengan jumlah goresan karakter marga tersebut.
Munculnya berbagai macam marga antara lain karena :
1. Menggunakan lambang2 suku2 kuno, misalnya Ma (kuda), Long (naga), Shan (gunung), Yun (awan)
2. Menggunakan nama negara, misalnya: Qi, Lu, Wei, Song
3. Menggunakan daerah kekuasaan, misalnya: Zhao, yang mendapatkan daerah kekuasaan di kota Zhao.
4. Menggunakan gelar jabatan, misalnya: Sima (menteri Perang), Situ (menteri tanah dan rakyat), Sikong (menteri Pu)
5. Menggunakan nama pekerjaan, misalnya: Tao (keramik), Wu (dukun/tabib)
6. Menggunakan tanda dari tempat tinggal, misalnya: Ximen (gerbang barat), Liu (pohon yangliu), Chi (kolam)
Nama Tionghoa di Indonesia
Marga Tionghoa di Indonesia terutama ditemukan di kalangan suku Tionghoa Indonesia. Suku Tionghoa Indonesia walau telah berganti nama Indonesia, namun masih banyak yang tetap mempertahankan marga dan nama Tionghoa mereka yang masih digunakan di acara-acara tidak resmi atau yang bersifat kekeluargaan.
Diperkirakan ada sekitar 300-an marga Tionghoa di Indonesia, data di PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) mencatat ada sekitar 160 marga Tionghoa di Jakarta. Di Singapura sendiri ada sekitar 320 marga Tionghoa. Atas dasar ini, karena daerah asal suku Tionghoa di Indonesia relatif dekat dengan Singapura maka dapat diambil kesimpulan kasar bahwa jumlah marga Tionghoa di Indonesia melebihi 320 marga.
Marga Tionghoa di Indonesia mayoritas dilafalkan dalam dialek Hokkian (Minnan). Hal ini tidak mengherankan karena mayoritas keturunan Tionghoa Indonesia adalah berasal dari Provinsi Fujian (Provinsi Hokkian).
Marga yang lazim di kalangan Tionghoa Indonesia misalnya :
Cia/Tjia (Hanzi: , hanyu pinyin: xie)
Gouw/Goh (Hanzi:
, hanyu pinyin: wu)
Kang/Kong (Hanzi:
, hanyu pinyin: jiang)
Lauw/Lau (Hanzi:
, hanyu pinyin: liu)
Lee/Lie (Hanzi:
, hanyu pinyin: li)
Oey/Ng/Oei (Hanzi:
, hanyu pinyin: huang)
Ong (Hanzi:
, hanyu pinyin: wang)
Tan (Hanzi: , hanyu pinyin: chen)
Tio/Thio/Theo/Teo (Hanzi:
, hanyu pinyin: zhang)
Lim (Hanzi:
, hanyu pinyin: lin)
Masih banyak lagi marga-marga lain yang dapat ditemui. Sebagai info, pengguna marga tionghoa terbanyak di dunia adalah marga Li [], lalu diikuti marga Wang [] di tempat kedua dan marga Zhang [] di tempat ketiga. Salah satu fenomena umum di Indonesia adalah karena marga dilafalkan dalam dialek Hokkian, sehingga tidak ada satu standar penulisan (romanisasi) yang tepat. Hal ini juga menyebabkan banyak marga-marga yang sama pelafalannya dalam dialek Hokkian kadang-kadang dianggap merupakan marga yang sama padahal sesungguhnya tidak demikian.
Tio selain merujuk kepada marga Zhang () dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Zhao ()
Ang selain merujuk kepada marga Hong (
) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Weng ()
Suku Tionghoa Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang Tionghoa di Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya nama Tionghoa di Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi. Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim daripada dialek-dialek lainnya.
Daftar Nama Tionghoa Yang di Indonesiakan
Tabel dibawah berdasarkan penulisan pinyin. Karakter yang menggunakan koma berarti ada lebih dari satu macam karakter untuk pinyin yang sama. Karakter dengan tanda garis miring berarti di sebelah kiri adalah Hanzi tradisional, dan di sebelah kanan Hanzi sederhana.
  
Nama Tionghoa
   Ejaan Latin Hokkian
Peng-Indonesiaan
欧阳/歐陽 (Oūyáng)
Auwjong
Ojong
(Ān)
An
Anadra, Andy, Anita, Ananta
(Cài)
Tjoa
Cahyo, Cahyadi
, (Chéng)
Seng
Sengani
(Chen)
Tan, Tjhin
Tanto, Tanoto, Tanu, Tanutama, Tanusaputra, Tanudisastro, Tandiono, Tanujaya, Tanzil/Tansil, Tanasal, Tanadi, Tanusudibyo, Tanamal, Tandy, Tantra, Intan
(Deng)

Tenggara, Tengger, Ateng
(Xú)
Djie, Tjhie, Chi (Hakka), Chee, Swee, Shui (Teochew, Hokkien), Tsui (Cantonese)
Dharmadjie, Christiadjie
(Hú)
Aw, Auw (Teochew, Hokkien), Wu (Cantonese)

(Guo)
Kwee, Kwik
Kartawiharja, Kusuma/Kusumo, Kumala
(Han)
Han
Handjojo, Handaya, Handoyo, Handojo, Hantoro
(Hong)
Ang
Anggawarsito, Anggakusuma, Angela, Angkiat, Anggoro, Anggodo, Angkasa, Angsana
Showing 1 to 11 of 33 entries
Geser untuk pindah
Di zaman Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono Salim. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan, sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat resmi.Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi wajar di kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini dipolitisir sedemikian rupa.
Anjuran ganti nama tersebut muncul karena ketegangan hubungan Republik Rakyat China dengan Indonesia setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa.Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti Tionghoa. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang menyebabkan nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai akhir hayatnya.
Cemoohan datang dari Organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang pada waktu itu mengumandangkan nada-nada anti Tionghoa yang menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan RRC (Republik Rakyat China) di Indonesia ke negara leluhurnya. Ganti nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan antara pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama seseorang, juga karena tidak ada sebuah nama yang merupakan nama Indonesia asli.
See more at: http://www.tionghoa.info

No comments:

Post a Comment