Monday, June 2, 2014

PERJALAN SEJARAH, KEBUDAYAAN DAN KEBERADAAN ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang Masalah
Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Kebudayaan suku tionghoa adalah untuk mencari tahu bagaimana masyarakat Tionghoa di Indonesia merasa dan memahami identitas mereka, khususnya identitas kebudayaan yang berasal dari keturunan Tionghoanya.Hal-hal yang harus diperhatikan oleh kita dalm penelitian ini adalah pemeriksaan tentang hukum-hukum yang dibuat selama periode pemerintahan Suharto, yaitu Orde Baru.
Penelitian tentang identitas kebudayaan Tionghoa di Indonesia akan selalu berkaitan dengan hukum-hukum tersebut di atas karena selama 30 tahun silam, hukum hukum ini sudah mengatur keberadaan identitas masyarakat Tionghoa dengan mengatur adanya penyelengaraan aspek-aspek yang paling penting untuk kebudayaan Tionghoa. Penelitian harus mengikut sertakan sebuah penafsiran mengenai kondisi social dan bersejarah yang bercokol pada zaman dan periode yang terjadi sebelum Orde Baru, berserta pembauran hukum hukum tersebut sehingga timbul pemahaman tentang dasaran yang tidak resmi untuk hukum-hukum sejenis ini.
Akibatnya, informasi ini akan membantu si peneliti mengerti pemikiran yang menjadi dasaran resmi, yang menjelaskan penciptaan hukum-hukum ini., yaitu untuk mendorong pembauran lengkap terhadap masyarakat Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia yang lain sekitarnya.  Pembauran lengkap punya arti tertentu untuk pemerintahan Suharto. Artinya adalah bahwa semua hubungan, termasuk kaitan kebudayaan, social, dan politik seharusnya dihapuskan.
Hukum-hukum ini termasuk pelarangan pemakaikn bahasa Tionghoa apapun, baik yang ditulis maupun yang diucapkan, serta penggunaannya sebagai bahasa pengajaran di sekolah-sekolah di Indonesia. Juga ada hukum-hukum yang melarang dan menolak agama-agama yang kebanyakan penganutnya adalah orang-orang Tionghoa, yaitu, Kong Hu Chu, serta melarang adanya tempat untuk mereka beribadah.
 1.2        Rumusan masalah
·         Apakah tionghoa itu?
·         Dari mana asal kata tionghoa?
·         Bagaimana populasi tionghoa di Indonesia?
·         Dari mana daerah asal Cina?
·         Dimanakah daerah konsentrasi cina?
·         Bagaimana sejarah tionghoa pada era colonial?
·         Bagaimana sejarah tionghoa pada era reformasi?
·         Apa saja contoh budaya tionghoa?
·         Perayaan perayaan masyarkat tionghoa





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ASAL KATA TIONGHOA
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.  Tionghoa ( dialek dari kata [中華], yang berarti Bangsa Tengah: dalam Bahasa Mnadarin ejaan Pinyin,kata ini dibaca “Zhonghua”) merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan.

Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang keturunan Cina yang tinggal di luar Republik Rakyat Cina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Cina dengan mendirikan Republik Cina (中華民國, Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Cina ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Cina (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.

Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.

Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.
Selain itu Tionghoa dapat mengacu kepada beberapa hal berikut:
·         Suku Tionghoa
·         Bahasa Tionghoa
·         Budaya Tionghoa
·         Tionghoa-Indonesia

Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina[3]) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Asal kata Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.

Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.

2.2 Populasi Tionhoa di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930.[5] Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.

Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

2.3 Daerah asal di Cina
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.

Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:
·         Hakka
·         Hainan
·         Hokkien
·         Kantonis
·         Hokchia
·         Tiochiu

Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.

2.4 Daerah konsentrasi Tionghoa
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Hakka - Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura. Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
Hokkien - Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon. Kantonis - Jakarta, Makassar dan Manado. Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya). Tiochiu - Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu.

2.5  Sejarah
A.   Masa-masa awal
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.

Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.

Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.  Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".

Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur Tionghoa. Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, di masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.

B.   Era kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.

Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong[rujukan?] berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.

Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [13][14][4] melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Pendidikan

Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan di tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.

2.6  Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.



C.   Pergerakan
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Cina, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.

Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel.

Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).

D.   Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.

Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.



E.   Pasca kemerdekaan
a.   Orde Lama
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.

b.   Orde Baru
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".

Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa

Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Reformasi.

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan.           Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.

2.6   Kebudayaan Tionghoa
A. Nama Tionghoa
Nama Tionghoa adalah nama yang diekspresikan dengan karakter Han (Hanzi). Nama ini digunakan secara luas oleh warga negara Republik Rakyat Cina, Republik Cina, Hong Kong, Makau dan keturunan Tionghoa di negara-negara lainnya. Nama Tionghoa biasanya terdiri dari 2 karakter sampai 4 karakter, walaupun ada yang lebih dari 4 karakter, namun umumnya nama seperti itu adalah mengambil terjemahan dari bahasa lain sehingga tidak dianggap sebagai nama Tionghoa. Nama Tionghoa mengandung marga dan nama. Marga Tionghoa diletakkan di depan nama, biasanya 1 sampai 2 karakter; nama mengikuti marga.

           a. Evolusi nama Tionghoa
Di zaman dahulu, menurut catatan literatur kuno ada peraturan bahwa nama seorang anak biasanya baru akan ditetapkan 3 bulan setelah kelahirannya. Namun pada praktiknya, banyak yang memberikan nama sebulan setelah kelahiran sang anak, bahkan ada yang baru diberikan setahun setelahnya. Juga ada yang telah menetapkan nama terlebih dahulu sebelum kelahiran sang anak.

Di zaman Dinasti Shang, orang-orang masih menggunakan nama dengan 1 karakter. Ini dikarenakan mereka belum mengenal marga dan juga karena jumlah penduduk yang tidak banyak. Sebelum zaman Dinasti Han, biasanya nama Tionghoa hanya terdiri dari 2 karakter yang terdiri dari 1 karakter marga dan 1 karakter nama. Namun setelah Dinasti Han, orang-orang mulai memiliki sebuah nama lengkap yang terdiri dari 3 karakter (1 karakter marga dan 2 karakter nama pribadi - yang terdiri dari 1 karakter nama generasi dan 1 karakter nama diri) selain daripada nama resmi mereka yang 2 karakter itu. Di zaman Dinasti Jin, orang-orang baru memakai nama dengan 3 karakter seperti yang kita kenal sekarang.
Nama menjadi sebuah hal yang penting bagi seseorang dipengaruhi oleh pemikiran Konfusius tentang pentingnya penamaan bagi penonjolan karakter seseorang. Pada kasus-kasus yang sangat langka, seseorang dapat memiliki nama dengan lebih dari tiga karakter : Dua karakter marga (seperti Sima, Zhuge), satu karakter generasi, dan satu karakter nama diri. Contoh: Sima Xiangru. Satu karakter marga dan tiga karakter nama. Contoh: Hong Tianguifu (anak dari Hong Xiuquan). Nama marga suku minoritas yang mengadopsi nama Tionghoa. Contoh: suku Manchu yang menguasai dinasti Qing menggunakan marga Aisin Gioro; kaisar dinasti Qing terakhir bernama Aisin Gioro Puyi (enam karakter).

b.   Nama Tionghoa di Indonesia
Suku Tionghoa-Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang Tionghoa di Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya nama Tionghoa di Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi. Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim daripada dialek-dialek lainnya.

Di zaman Orde Baru, di bawah pemerintahan Suharto, warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono Salim. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan; sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat resmi.
Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi wajar di kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini dipolitisir sedemikian rupa. Anjuran ganti nama tersebut muncul karena ketegangan hubungan Republik Rakyat Cina dengan Indonesia setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa.

Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti-Tionghoa. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang menyebabkan nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai akhir hayatnya. Cemoohan datang dari KAMI dan KAPPI yang pada waktu itu mengumandangkan nada-nada anti-Tionghoa yang menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan RRT di Indonesia ke negara leluhurnya.

Ganti nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan antara pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama seseorang, juga karena tidak ada sebuah nama yang merupakan nama Indonesia asli. Dibawah ini ada daftar nama marga Tionghoa yang diindonesiakan, daftar ini belumlah lengkap. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. Daftar ini diurutkan berdasarkank pinyin. Karakter yang menggunakan koma berarti ada lebih dari satu macam karakter untuk pinyin yang sama. Karakter dengan tanda garis miring berarti di sebelah kiri adalah Hanzi tradisional, dan di sebelah kanan Hanzi sederhana.

Marga Tionghoa
Dibaca
Ejaan Latin Hokkian
Pengindonesiaan
欧阳/歐陽 (Oūyáng)
O Yang
Auwjong
Ojong
(Ān)
An

Anadra, Andy, Anita, Ananta,
, (Bái)
Pai


()
Po


(Cài)
Jae
Tjoa
Cahyo, Cahyadi
(Cao)
Cao
Tjo
Cokro, Vonco
, (Chéng)
Jheng
Seng
Sengani
/ (Cóng)
Jhong


(Chen)
Jen
Tan, Tjhin
Tanto, Tanoto, Tanu, Tanutama, Soetanto, Cendana, Tanudisastro, Tandiono, Tanujaya, Santoso, Tanzil, Tanasal, Tanadi, Tanusudibyo, Tanamal, Tandy, Tantra, Intan, Natan, Virtandy
/ (Deng)
Teng

Tenggara, Tengger, Ateng
(Guo)
Kuo
Kwee, Kwik
Kartawiharja, Kusuma, Kusumo
(Han)
Han
Han
Handjojo, Handaya, Handoyo, Handojo, Hantoro
(Hong)
Hung
Ang
Anggawarsito, Anggakusuma, Angela, Angkiat, Anggoro, Anggodo, Angkasa, Angsana
(Huang)
Huang
Oei, Oey
Wibowo, Wijaya, Winata, Widagdo, Winoto, Willys, Wirya, Wiraatmadja , Winarto, Witoelar
(Jiang)
Ciang
Kang/Kong
Kangean
(Li)
Lhi
Li, Lie, Lee
Lijanto, Liman, Liedarto, Rusli
(Liang)
Lhiang
Nio
Liangani, Liando, Liandow, Liandouw, Meliangan
(Lin)
Lhin
Liem, Lim
Halim, Salim, Limanto, Limantoro, Limianto, Limijanto, Wanandi, Liemena, Alim, Limawan, Liemantika, Liman
/ (Liu)
Lhiu
Lau, Lauw
Mulawarman, Lawang, Lauwita, Lawanto
(Lu)
Lhû
Liok, Liuk
Loekito, Loekman, Loekali
()
Liw
Loe, Lu
Loekito, Luna, Lukas, Lukita, Loeksono
/ (Luo)
Lo
Ro, Loe, Lou, Lo, Luo
Lolang, Louris, Robert, Rowi, Robin, Rosiana, Rowanto, Rohani, Rohana, Samalo, Susilo,
(Quán)
Jhiwyen

Kuanna
(Shi)
Shi
Sie
Sidjaja, Sidharta
司徒 (Situ)
Sê Dhu
Sieto, Szeto, Seto, Siehu, Suhu
Lutansieto, Suhuyanli, Suhuyanly
(Su)
Su
Souw, So, Soe
Soekotjo, Soehadi, Sosro, Solihin, Soeganda, Suker, Suryo, Surya, Soerjo
(Wang)
Whang
Ong, Wong
Ongko, Wangsadinata, Wangsa, Radja, Wongsojoyo, Ongkowijaya, Setiawan
(Wen)
Whên
Oen, Boen, Woen
Benjamin, Bunjamin, Budiman, Gunawan, Basiroen, Bunda, Wendi, Unang
/, , , , , (Wu)
Whu
Go, Gouw, Goh, Ng
Gono, Gondo, Sugondo, Gozali, Wurianto, Gunawan, Govino, Gotama, Utama, Widargo, Sumargo, Gossidhy, Bagus, Bagoes, Prayogo
(Xu)
Xiw
Kho, Khouw, Khoe
Kosasih, Komar, Kurnia, Kusnadi, Kholil, Kusumo, Komara, Koeswandi, Kodinata
(Xie)
Shie
Cia/Tjia
Tjiawijaya, Tjahyadi, Sudarmadi, Ciawi
/ (Yang)
Yang
Njoo, Nyoo, Jo, Yong
Yongki, Yoso, Yohan, Yuwana
(Ye)
Ye
Yap/Jap
Japhar
(Zeng)
Ceng
Tjan, Tsang
Tjandra, Tjandrakusuma, Chandra, Chandrawinata, Candrakusuma
(Zhang)
Chang
Thio, Tio, Chang, Theo, Teo, Tjong
Canggih, Setyo, Setio, Sulistio, Sutiono
(Zheng)
Cheng
Te, The
Tedyono, Suteja, Teja, Teddy, Tedjokumoro, Tejarukmana, Tejawati
(Zhou)
Chou
Tjio, Tjioe
Tjokrorahardjo (Cokroraharjo), Tjokrowidjokso (Cokrowijokso)
(Zhū)
Chu

Zulkifri, Zuneng
{belum
dikelompokkan)

Djiaw, Gan, Hoo,
Keng, Pek, Poo,
Siauw, Sie, Siem, Sim, Shim, Shen, Tjoa,
Tjun, Tjiam, Tong


c.    Nama Tionghoa dan romanisasinya
Sekarang ini, biasanya untuk memudahkan orang yang memiliki nama Tionghoa juga memiliki romanisasi dari lafal nama Tionghoa mereka ataupun memiliki nama Barat. Sistem romanisasi yang paling baku dan paling banyak digunakan sekarang ini adalah sistem Hanyu Pinyin. Tata cara penulisan nama Tionghoa dalam bentuk romanisasi yang paling sering digunakan saat ini adalah dengan memisahkan antara suku-kata marga dan nama.

Mao Zedong; Mao adalah marga 1 karakter, Zedong adalah nama 2 karakter.  Jiang Zemin; Jiang adalah marga 1 karakter, Zemin adalah nama 2 karakter. Sima Yi; Sima adalah marga 2 karakter, Yi adalah nama 1 karakter. Auwjong Pengkoen (dialek Hokkian); Auwjong adalah marga 2 karakter, Pengkoen adalah nama 2 karakter. Ada pula penulisan dengan tata cara penulisan nama Barat, di mana nama pemberian ditulis terlebih dahulu dan nama keluarga mengikuti di belakang. Nama keluarga di Barat dapat disamakan dengan marga di kalangan Tionghoa.

Zemin, Jiang; Zemin adalah nama pemberian, Jiang adalah nama keluarga (marga) Nama barat berikut ini disertai oleh marga Tionghoa di belakang nama Barat tersebut sesuai dengan kaidah penamaan di Barat yang menempatkan nama keluarga di belakang nama pemberian. James Soong Chuyu; James adalah nama Barat, Soong adalah marga Tionghoa, Chuyu adalah nama Tionghoa. Jacky Cheung; Jacky adalah nama Barat, Cheung adalah marga Tionghoa dalam dialek Kantonis.

Nama orang Korea, Vietnam dan Jepang juga mendapat pengaruh besar dari nama Tionghoa. Sampai sekarang nama orang Korea masih terdiri dari 3 karakter suku-kata walau ditulis dalam karakter Hangul. Marga orang Korea adalah bersumber dari marga Tionghoa. Orang Vietnam sendiri menggunakan nama Tionghoa namun dengan lafal bahasa Viet serta ditulis dengan romanisasi. Orang Jepang menggunakan nama yang ditulis dengan karakter Han, namun mayoritas dengan 4 karakter, 2 karakter marga dan 2 karakter nama.

B. Budaya teh Tionghoa
Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Cina, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun sebelum Masehi (SM), yaitu pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa. Bahkan, berlanjut di Jepang sejak masa Kamakaru (1192 – 1333) oleh pengikut Zen. Tujuan minum teh, agar mereka mendapatkan kesegaran tubuh selama meditasi yang bisa memakan waktu berjam-jam. Pada akhirnya, tradisi minum teh menjadi bagian dari upacara ritual Zen. Selama abad ke-15 hal itu menjadi acara tetap berkumpul di lingkungan khusus untuk mendiskusikan berbagai hal.

Meski saat itu belum bisa dibuktikan khasiat teh secara ilmiah, namun masyarakat Tionghoa sudah meyakini teh dapat menetralisasi kadar lemak dalam darah, setelah mereka mengonsumsi makanan yang mengandung lemak. Mereka juga percaya, minum teh dapat melancarkan buang air seni, menghambat diare, dan sederet kegunaan lainnya.

C. Masakan Tionghoa-Indonesia
Masakan Tionghoa-Indonesia mempunyai ciri khas campuran antara masakan Tionghoa dengan masakan tradisional Indonesia. Masakan ini biasanya mirip dengan masakan Tionghoa yang dimodifikasi dengan cabai, santan dan bumbu-bumbu dari masakan Indonesia. Beberapa masakan dan kue menyerupai masakan di Malaysia. Masakan Tionghoa-Indonesia juga dapat bervariasi tergantung dari tempat. Sebagai contoh di berbagai tempat di pulau Jawa, masakan ini menjadi bagian dari budaya setempat. Di Jawa masakan ini cenderung agak manis. Di Medan, Sumatra Utara masakan tradisional Tionghoa masih lebih mudah ditemukan.

Ada beberapa jenis gaya masakan Tionghoa di Indonesia: Masakan Tionghoa gaya baru dengan koki dari Republik Rakyat Cina, Hongkong atau Taiwan. Masakan Tionghoa tradisional seperti masakan Tiochiu, Hokkian dan Hakka. Masakan Tionghoa-Indonesia dengan pengaruh barat (Belanda). Masakan Tionghoa yang diadaptasi ke budaya setempat, seperti menggantikan babi dengan ayam atau sapi untuk membuatnya halal. Beberapa masakan Tionghoa-Indonesia yang terkenal:
Bakmi, Mie yang diadaptasi ke beberapa macam jenis. Setiap kota memiliki ciri khasnya tersendiri. Sebagai contoh Bakmi Bandung, Bakmi Medan, Bakmi Makassar, Bakmi Bangka, dan lai-lain.

Nasi goreng, mie goreng, bihun goreng, kwetiau goreng - nasi atau mie yang digoreng dengan bumbu, cabai dan kecap manis. Cap cai, bahasa Hokkian yang artinya "sayur campur",orang hakka menyebutnya chap choi Tahu goreng, biasa disajikan dengan saus kacang dan cabai. Mie masak, bihun masak, Nasi tim, Telur tim, Ayam cah, Ifumie, Ambokueh, Bakkut Teh.

D. Pengobatan tradisional Tionghoa
Pengobatan tradisional Tionghoa (Hanzi:中醫學) adalah praktik pengobatan tradisional yang dilakukan di Cina dan telah berkembang selama beberapa ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea.

Pengobatan Tradisional Tionghoa percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan, dan pencegahan penyakit.

Teori yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada kondisi Sejarah. Sebagian besar filosofi pengobatan tradisional Cina berasal dari filsafat Taois dan mencerminkan kepercayaan purba Cina yang menyatakan pengalaman pribadi seseorang memperlihatkan prinsip kausatif di lingkungan. Prinsip kausatif ini berhubungan dengan takdir dari surga.

Selama masa kejayaan Kekaisaran Kuning pada 2696 sampai 2598 SM, dihasilkan karya yang terkenal yakni Neijing Suwen (內經 素問) atau Pertanyaan Dasar mengenai Pengobatan Penyakit Dalam, yang dikenal juga sebagai Huangdi Neijing. Ketika masa dinasti Han, Chang Chung-Ching, seorang walikota Chang-sa, pada akhir abad ke-2 Masehi, menulis sebuah karya Risalat Demam Tifoid, yang mengandung referensi pada Neijing Suwen. Ini adalah referensi ke Neijing Suwen terlama yang pernah diketahui.

Pada masa dinasti Chin, seorang tabib akupunktur, Huang-fu Mi (215-282 Masehi), juga mengutip karya Kaisar Kuning itu pada karyanya Chia I Ching. Wang Ping, pada masa dinasti Tang, mengatakan bahwaia memiliki kopi asli Neijing Suwen yang telah ia sunting.

Bagaimanapun, pengobatan klasik Tionghoa berbeda dengan pengobatan tradisional Tionghoa. Pemerintah nasionalis, pada masanya, menolak dan mencabut perlindungan hukum pada pengobatan klasiknya karena mereka tidak menginginkan Cina tertinggal dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Selama 30 tahun, pengobatan klasik dilarang di Cina dan beberapa orang dituntut oleh pemerintah karena melakukan pengobatan klasik. Pada tahun 1960-an, Mao Zedong pada akhirnya memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat melarang pengobatan klasik. Ia memerintahkan 10 dokter terbaik untuk menyelidiki pengobatan klasik serta membuat sebuah bentuk standar aplikasi dari pengibatan klasik tersebut. Standarisasi itu menghasilkan pengibatan tradisional Tionghoa.

Kini, pengobatan tradisional Tionghoa diajarkan hampir di semua sekolah kedokteran di Cina, sebagian besar Asia, dan Amerika Utara. Walauapun kedokteran dan kebudayaan Barat telah menyentuh Cina, pengobatan tradisional belum dpata tergantikan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor sosiologis dan antropologis. Pengobatan tradisional dipercaya sangat efektif, dan kadang-kadang dapat berfungsi sebagai obat paliatif ketik kedokteran Barat tidak mampu menangani lagi, seperti pengobatan rutin pada kasus flu dan alergi, serta menangani pencegahan keracunan.

Cina sangat dipengaruhi oleh marxisme. Pada sisi lain, dugaan supranatural bertentantangan pada kepercayaan Marxis, materialisme dialektikal. Cina modern membawa pengobatan tradisional Cina ke sisi ilmiah dan teknologi serta meninggalkan sisi kosmologisnya.

a.   Praktek pengobatan
Pada dunia Barat, pengobatan tradisional Tionghoa dianggap sebagai pengobatan alternatif. Bagaimanapun, di Republik Rakyat Cina dan Taiwan, hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dengan sistem kesehatan. Pengobatan tradisional merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya konsep kepercayaan kuno. Pada abd ke-19, para praktisi pengobatan tradisional ini masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai penyakit infeksi, dan pemahaman ilmu kedokteran Barat seperti biokimia. Mereka menggunakan teori-teori yang telah berumur ribuan tahun yang didasarkan pengalaman dan pengamatan serta sebuah sistem prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis.

Tidak seperti beberapa bentuk pengobatan tradisional yang telah punah, pengobatan tradisional Tionghoa kini menjadi bagian dari pengobatan modern dan bagian sistem kesehatan di Cina. Dalam beberapa dekade belakangan ini, banyak ahli kedokteran Barat yang juga meneliti kebenaran pengobatan tradisional Tionghoa ini. Pengobatan tradisional Cina sering diterapkan dalam membantu penanganan efek samping kemoterapi, membantu perawatan keteragantungan obat terlarangan, dan merawat berbagai kondisi kronis yang oleh pengobatan konvensional dianggap mustahil untuk disembuhkan.

           b.  Diagnosis
Terdapat empat macam metoe diagnosis pada pengobatan tradisional Tionghoa: mengamati ( wàng), mendengar dan menghidu ( wén), menanyakan riwayat ( wèn), dan menyentuh ( qiè).[1] The pulse-reading component of the touching examination is so important that Chinese patients may refer to going to the doctor as "Going to have my pulse felt"

c.  Teknik diagnosis
Palpasi atau merasakan denyut nadi arteri rasialis pasien pada enam posisi
1.    Mengamati keadaan lidah pasien
2.    Mengamati wajah pasien
3.    Menyentuh tubuh pasien, terutama bagian abdomen
4.    Mengamati suara pasien
5.    Mengamati permukaan telinga
6.    Mengamati pembuluh darah halus pada jalur telunjuk kanak-kanak
7.    Membandingkan kehangatan relatif atau suhu pada beberapa bagian tubuh
8.    Mengamati bau badan pasien
9.    Menanyakan efek permasalahannya
10. Pemeriksaan lain tanpa alat dan melukai pasien

d. Teknik perawatan
  Dalam sejarahnya, terdapat delapan cara pengobatan:
Tui na (推拿) - terapi pijat
Akupunktur (針灸)
Qigong (氣功) dan latihan meditas - pernapasan lainnya
T'ai Chi Ch'uan (太極拳) dan seni bela diri Tionghoa lainnya
Feng shui (风水)
Kepercayaan tradisional Tionghoa
Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu. Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu: 1). Penghormatan leluhur: Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. 2). Penghormatan dewa-dewi: Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup.

Sejarah Astrologi Cina yang sistematik sudah berusia 5000 tahun, dan mungkin merupakan yang pertama di dunia ini. Pada peradaban lain ilmu astrologi juga ditemukan namun kebangkitannya baru dimulai sekitar 500 SM. Astrologi Cina dapat ditemukan pada bukti Kalender Hsia yaitu kalender astrologi yang disusun pada masa dinasti Hsia sekitar 2205 SM. Akan tetapi pada masa sebelum Dinasti Hsia berbagai penemuan tentang astrologi sudah disusun yaitu sejak masa Kaisar Kuning sampai Kaisar Yao. Bahkan pada masa kaisar Shen Nung, kalender astrologi sudah dipergunakan untuk menaman padi yang disebut Nung Li (Kalender Tani). Di masa kini, kalender Hsia ini masing dipergunakan untuk berbagai ramalan dan perhitungan astrologi Cina. Di Indonesia perhitungan kalender ini juga masih digunakan oleh etnis Cina.

2.7 PERAYAAN PERAYAAN TIONGHOA
A. Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek)

Tahun Baru Imlek biasanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa hingga kini dengan sangat meriah, dengan menggantung berbagai macam pernak-perniknya, seperti lampion merah, menempel kertas merah bertuliskan ‘FU’, menyiapkan angpao, sampai pesta kembang api dan tarian naga serta barongsai. Awalnya Imlek merupakan hari raya yang berkaitan dengan pergantian musim, yakni dari musim dingin ke musim semi. Karena musim semi dihitung sebagai musim pertama dari 4 musim yang ada, maka berdasarkan penanggalan Imlek, hari pertama mulainya musim semi merupakan hari pertama penanggalan tahunan.

               
B. Festival Yuan Xiao (Cap Go Meh)

Festival Yuan Xiao atau biasa dikenal dengan perayaan Cap Go Meh jatuh setiap tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek. Sama hal nya dengan perayaan Imlek diatas, perayaan Cap Go Meh ini juga dirayakan dengan sangat meriah di beberapa negara yang tersebar di berbagai belahan dunia. Umumnya yang ada dalam Festival Cap Go Meh ini adalah disajikan pertunjukan tarian barongsai, naga (liong), atraksi beladiri wushu, pergelaran alat musik tradisional China, pertunjukan tarian khas negeri Tiongkok, dan sebagainya.

Bahkan di Indonesia, festival Cap Go Meh ini dilakukan upacara kirab atau turun ke jalan raya dengan menggotong Kio/usungan yang diisi/dimuat arca para Dewa. Bahkan, di beberapa kota di tanah air, seperti di daerah Jakarta dan di Manado, ada atraksi ‘lok thung’ atau ‘thang sin’, dimana ada seseorang yang menjadi medium perantara, dimana biasanya akan melakukan beberapa atraksi sayat lidah, memotong lengan/badannya dengan sabetan pedang dsb, dan dipercaya telah dirasuki roh Dewa/i untuk memberikan berkat bagi umatNya. Berikut informasi selengkapnya mengenai Festival Cap Go Meh.

Pada perayaan cap go meh terdapat arak arakan dan pesta lampion
 C. Festival Qing Ming (Ceng Beng)
Festival Qing Ming adalah hari di mana masyarakat Tionghoa melakukan ziarah ke kuburan leluhurnya (orang tua, sanak family) sekalian membersihkannya dan bersembahyang di makam sambil membawa buah-buahan, kue, makanan, serta karangan bunga. Hari Ceng Beng biasanya jatuh pada tanggal 5 April kalender Masehi. Kegiatan ini bertujuan sebagai bentuk penghormatan (mengenang) kepada leluhur atau keluarga yang telah meninggal. Berikut informasi selengkapnya mengenai Festival Ceng Beng.



  
     

Tampak sesajian di depan makam pada festival Cheng Beng yang disediakan oleh keluarga


D. Festival Duan Wu

Festival Duan Wu sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Hingga saat ini, ada 2 kegiatan yang terus dilakukan masyarakat Tionghoa, yakni makan Bak Chang dan perlombaan perahu naga. Salah satu asal usul dari festival Duan Wu ini adalah untuk mengenang patriot Qu Yuan yang mati bunuh diri dengan terjun ke sungai karena kecintaan dan kesetiaannya pada negara/dinasti Chu. Festival ini dilangsungkan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.
     

Festival Duan Wu identik dengan makan Bak Chang dan Perahu Naga

E. Festival Qi Xi

Festival Qi Xi atau biasa disebut dengan merupakan festival Qi Qiao yang romantis dalam tradisi dan kebudayaan Tionghoa. Bahkan festival ini dikatakan sebagai hari valentine nya orang Tionghoa. Festival Qi Xi ini memperingati kisah romantis antara pria penggembala Niu Lang dan Zhi Nu si gadis penenun yang menurut cerita hanya dapat bertemu sekali dalam setahun. Festival ini jatuh setiap tanggal 7 bulan 7 penganggalan Imlek. Pada Malam Festival Qi Xi, gadis-gadis muda melakukan permohonan dan doa agar dapat meningkatkan keterampilan seni mereka dan juga memohon supaya mendapatkan suami yang setia dan baik serta mencintainya.
    

       
Sosok Dewi Bulan yang diilustrasikan dalam perayaan kue bulan di suatu kelenteng
G.   Festival Musim Gugur (Tiong Ciu)

Festival musim gugur atau biasa disebut dengan Tiong Ciu Pia (makan kue pia), merupakan hari raya panen. Festival ini dirayakan setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek. Festival musim gugur dimulai sekitar zaman dinasti Xia dan Sheng (2000-1600 SM). Pada dinasti Zhou, rakyat merayakan dengan memuja bulan. Pada dinasti Tang, tradisi itu lebih jelas dan merakyat. Pada dinasti Song selatan (1127-1279 M), orang mulai mengirimkan kue bulan yang bergambar kelinci kepada rekan dan family  sebagai simbol keutuhan keluarga.
Pada malam hari mereka berjalan-jalan bersama keluar rumah dan mengunjungi tepi danau menikmati rembulan. Pada dinasti Ming dan Qing, tradisi ini menjadi lebih populer. Muncul beberapa kebiasaan seperti menanam pohon musim gugur, menyalakan lentera dan tari naga. Tradisi yang paling utama yang sampai sekarang masih ada adalah berkumpul bersama keluarga untuk menikmati bulan sambil menikmati penganan khas kue bulan sambil meminum arak (minuman keras khas negeri Tiongkok) atau teh. Berikut informasi selengkapnya mengenai Festival Tiong Ciu Pia.

 
H.   Festival Chong Yang

Festival Chong Yang jatuh setiap tanggal 9 bulan 9 penanggalan Imlek. Festival Chong Yang yang memiliki arti Panjang umur ini juga dirayakan sebagai Hari Lansia (Lanjut Usia) oleh Warga Tionghoa. ‘Chong Yang’ artinya nomor ‘Yang’ yang double, menurut kitab I Ching, angka sembilan memiliki sifat ‘Yang’. Sembilan juga merupakan angka tertinggi dari angka-angka yang lainnya, dan mempunyai bunyi yang sama dengan ‘Jiu-Jiu’ yang artinya ‘lama-lama’, jadi sering diartikan sebagai panjang umur. Festival Chong Yang yang paling ramai diselenggarakan di Hong Kong dan daratan China. Pada festival Chong Yang, orang sering berkumpul untuk berpesta bersama, menikmati bunga krisan,  mendaki gunung dan makan kue spesial. Festival ini juga dikenal dengan istilah ‘double nine Festival’. Di Indonesia sendiri, Festival ini belum ada.
    


I.    Festival Musim Dingin (Dong Zhi)

Festival Musim Dingin jatuh setiap tanggal 22 Desember kalender masehi. Pada festival ini biasanya orang akan membuat kue onde dan memakannya bersama keluarga. Asal usul festival ini dapat ditelusuri kembali ke filsafat Tao ‘Yin dan Yang’ sebagai keseimbangan dan harmoni dalam alam semesta. Festival ini mulai dirayakan pada zaman dinasti Han (206-220 SM). Pada zaman sekarang ini festival musim dingin dirayakan dengan sangat meriah seperti di Harbin. Bahkan kota yang terletak di paling utara China ini menjadi salah satu dari tempat-tempat yang menyelenggarakan festival es dan salju di dunia.

Secara turun-temurun, festival ini menjadi saat berkumpul bagi seluruh anggota keluarga dengan satu kegiatan utama yang dilakukan (terutama bagi keluarga-keluarga di Tiongkok selatan dan perantauan), yaitu membuat dan menikmati TangYuan, orang Indonesia menyebutnya wedang ronde) yaitu hidangan berbentuk bola-bola dari beras ketan yang melambangkan persatuan. TangYuan dibuat dengan warna-warna yang cerah, masing-masing anggota keluarga mendapat setidaknya satu bola TangYuan berukuran besar disamping beberapa lainnya yang berukuran kecil. Berikut informasi selengkapnya mengenai Festival Dong Zhi.
 


Selain festival-festival diatas, masih banyak juga festival udaya Tionghoa yang lain, seperti festival hantu. Nah tugas kita sebagai generasi penerus Tionghoa untuk tetap melestarikan budaya Tionghoa di negara tercinta kita, Indonesia.
   






No comments:

Post a Comment