Sebelumnya, mungkin banyak dari kita yang mengira bahwa bicara tentang kebudayaan Tionghoa adalah membicarakan kepercayaan tradisional yang ada dalam masyarakat Tionghoa, seakan – akan kepercayaan tadilah yang membentuk kebudayaan dan cara hidup masyarakat Tionghoa selama ribuan tahun.
Sebenarnya,
kepercayaan tradisional hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan
Tionghoa itu sendiri, namun kepercayaan tradisional yang terbentuk dari
kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman pra-sejarah kemudian
menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa
selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Jadi dapat dikatakan, kepercayaan
tradisional ini muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan
dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk kebudayaan dan segala
transformasinya.
Tulisan ini sendiri terjadi karena banyaknya masyarakat yang melakukan adat istiadatnya tanpa mengetahui asal – usulnya atau bahkan mempertanyakan kenapa hal – hal tersebut dilakukan. Mudah – mudahan dengan adanya tulisan ini, dapat membantu mencerahkan sedikit kebingungan dan menjawab pertanyaan – pertanyaan kita. Dan apabila memungkinkan, tambahan koreksi yang bersifat membangun dapat menambah pengetahuan kita bersama pada terbitan berikut. Mudah2an sedikit tulisan ini dapat memperkaya koleksi `rsip tentang kebudayaan Tionghoa yang memang sangat minim di Indonesia.
Perlu diingat bahwa ada kemungkinan tulisan yang saya susun berdasarkan sumber-sumber yang ada hanyalah legenda, namun dilain pihak ada beberapa poin penting yang memang ada secara konkrit dan merupakan fakta. Demikian pula dalam kisah-kisah legenda ada banyak hal yang merupakan fakta kemudian ditambahkan sedemikian rupa baik dari isi maupun cerita untuk lebih bisa dimikmati pada jamannya dan kemudian baru di otentik kan pada jaman berikutnya dalam rupa tulisan, teater dan sebagainya. Misalkan cerita Hercules di Yunani atau Gatotkaca di Indonesia serta banyak kisah dibawah ini yang kedengarannya sulit dipercaya di jaman sekarang.
Bedanya adalah budaya Tionghoa kemudian sebagian dijadikan sebagai pegangan dalam kesehariannya hingga kini sebagian besar tidak lagi dapat dibedakan antara bagian mana yang merupakan Legenda dan bagian mana yang berupa Fakta. Apalagi, sama seperti bangsa lainnya di dunia, di jaman kekaisaran kuno Tiongkok banyak mempercayai kisah-kisah misteri yang mencampurkan antara tahyul dan fakta.
Sehingga dalam mebaca tulisan saya berikut, diharapkan pembaca bisa bijaksana untuk memahami dengan pertimbangan sendiri bahwa Legenda inilah yang menjadi cikal bakal asal usul adat istiadat Tionghoa saat ini. Mungkin di jaman ini banyak yang terlihat janggal dan aneh, namun demikian banyak pula yang merupakan fakta sebenarnya yang dibumbui pada jamannya untuk menjadi lebih menarik dinikmati. Saya secara pribadi mempercayakan sepenuhnya kepada pembaca untuk bijaksana dalam berargumen dan menikmati kisah-kisah legenda abadi ini layaknya banyak hal didunia ini yang belum bisa dijawab secara akal ilmu pengetahuan.
Akhir kata, selamat menikmati perjalanan anda untuk menelusuri kembali asal-usul penting sebuah budaya Bangsa Tionghoa.
Kepercayaan Masyarakat Tionghoa
Sejarah
kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan
mitologi – mitologi. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa mulai
menuliskan pandangan mereka terhadap alam semesta ini. Mereka
menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian) dan bumi
(Di) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk
atau chaos (Hun Dun). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan Gu
(Cerita Legenda) mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit
bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu
bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu
dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu
wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan
laut, sungai dan danau.
Inilah
yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan Gu
Kai Tian Di) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan
Shi Tian Wang). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam
kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan
sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah
di-Tuhan-kan.
Di
kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris
Nu Wa yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan
manusia dan menambal langit yang bocor. Fu Xi yang mengajarkan cara
membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba
Gua (8 diagram) dan Shen Nung yang mengajari cara bertani, ahli obat2
tradisional dan memperkenalkan minuman teh.
Dari
semua bentuk interaksi ini, yang paling nyata dan penting dalam
kepercayaan tradisional ini adalah upacara merayakan ulang tahun
dewa-dewi (Wei Shen Zuo Shou) dan membantu roh untuk terbebas dari
penderitaan (Ti Gui Cao Sheng, dalam agama tertentu dapat disamakan
dengan pelimpahan jasa). Kedua upacara ini biasanya diselenggarakan
bersamaan pada hari ulang tahun dari dewa-dewi tersebut. Semua ini
dilakukan demi penghormatan kepada dewa-dewi dan roh – roh yang dianggap
dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Bentuk
– bentuk ritual kepercayaan ini sangat berbeda antara satu tempat
dengan tempat lainnya. Namun di dalam perbedaan tersebut, persamaannya
masih tetap lebih menonjol karena dewa-dewi yang dipuja dan inti dari
penghormatan tersebut adalah sama hakikatnya.
Jadi
yang perlu diingat adalah yang dilakukan dalam kepercayaan tradisional
ini bukanlah memuja sang patung ataupun papan tadi, namun adalah memuja
dan menghormati dewa-dewi yang bersangkutan beserta kebajikan dan
panduan hidup mereka.
Di
masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini
terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya
Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi
berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri
dari alam Langit (Tian Jie), alam Bumi (Ming Jie) dan alam Baka (You
Jie). Dan dalam perkembangannya akhirnya lahir aliran yang disebut
sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu
gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme.
Pada
dasarnya, ada beberapa orang yang mengartikan Tri-Dharma sebagai
kepercayaan tradisional yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan
merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), dan masing – masing
saling mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam
batas – batas tertentu. Dan ada pula yang mengatakan, di zaman dulu, ada
atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang
teguh kepercayaan tradisional ini.
Konsep Tiga Alam
Konsep
tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur
orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing –
masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini
tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya.
Alam
Langit (Tian Jie) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi
tempat kegiatan para raja – raja Langit (Tian Wang) dan dewa-dewi langit
(Tian Shen). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta,
yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang – orang besar yang
berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya
(dipercaya) dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang
dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar – kaisar
legendaris seperti Yao, Xun dan Yu adalah bertempat tinggal di sana
bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan
diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain.
Alam
Bumi (Ming Jie) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang
menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup.
Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit (dianggap) bertanggung jawab
melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut
sebagai Yang Jian atau pun Ren Jian.
Alam
Baka (You Jie) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam
sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan
dari roh (Ling) dan hantu – hantu (Gui) dari manusia setelah meninggal
dunia. Di alam ini, (dipercaya) ada sekelompok dewa dan pejabat alam
yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional,
leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal
adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam
ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada
hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka
keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi Dian Yan Luo) dan 18
Tingkat Neraka (Shi Ba Ceng Di Yu).
Dalam
perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian
terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan
kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir
kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya
dengan meminum sup Meng Po dan melewati jembatan Nai He. Perbedaan yang
mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia
hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk
lainnya.
Hubungan
dan Interaksi Antar Tiga Alam Alam Langit, alam Bumi dan alam Baka
adalah mempunyai hubungan satu sama lain dan dapat berinteraksi di
antaranya. Kepercayaan leluhur orang Tionghoa bahwa ada kehidupan
setelah kematian, seseorang yang telah meninggal akan menjadi roh (Ling)
ataupun hantu (Gui).
Roh
ini terbagi atas roh yang baik dan jahat. Roh yang dihormati dan
dikenang oleh keturunannya sehingga dapat menjaga, melindungi dan
membawa berkah pada keluarga anak cucunya adalah roh leluhur yang baik.
Sedangkan roh yang tidak mendapat penghormatan, perlakuan layak dan
wajar oleh keturunannya ataupun yang meninggal secara tidak wajar
biasanya merupakan roh yang jahat. Roh yang jahat inilah yang biasanya
kita kenal dengan sebutan hantu.
Namun,
tidak semuanya akan menjadi roh ataupun hantu. Ada tokoh tertentu yang
berjasa dan berkontribusi besar bagi masyarakat, kebudayaan dan negara
dipercaya akan naik derajatnya menjadi dewa-dewi yang patut dihormati
masyarakat luas untuk mengenang dan menghormati jasa mereka. Banyak dari
dewa-dewi leluhur orang Tionghoa yang sebenarnya merupakan tokoh
sejarah yang benar – benar pernah hidup pada masanya dan bukan cuma
legenda atau mitologi. Masing – masing dewa-dewi tersebut mempunyai
peranan dan kelebihan masing – masing pula. seperti Guan Gong (nama asli
Guan Yun-chang) yang hidup masa Dinasti Han akhir (Tiga Negara) dipuja
sebagai Dewa Perang yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan, lalu Ma
Zhu Niang-niang (nama asli Lin Mo-niang) yang hidup di zaman Dinasti
Sung yang dipuja sebagai Dewi Samudera yang melambangkan bakti seorang
anak kepada orang tuanya.
Pengertian Dewa
Dewa
adalah sebuah ‘Sebutan’ posisinya hampir serupa dengan sebutan lain
seperti misalnya ‘Sarjana’. Sebutan ini diberikan kepada ‘Sosok’ yang
telah sukses dalam mencapai ‘Kesempurnaan’ hidup secara menyeluruh.
(Baca: Spiritual)
Dalam
bahasa aslinya Dewa disebut ‘Shen Sian’, merupakan sebutan yang
mewakili Dewa-Dewi secara menyeluruh. Dimana jika dibedakan lagi, akan
terdapat 2 kelompok Dewa yaitu:
Kelompok
Dewa yang disebut ‘Shen’. Kelompok ini terkesan ‘Formal’, (mungkin)
seperti pejabat militer. Contohnya antara lain: Dewa Kwan Kong.
Kelompok Dewa yang disebut ‘Sien / Xian’. Kelompok ini terkesan ‘Santai’, (mungkin) seperti pejabat sipil. Contohnya antara lain Pat Sian / Delapan Dewa.
Sebenarnya kedua kelompok tersebut sama saja, manusia ‘melihat’ ada perbedaan lalu menyebutnya berbeda.
Selain itu Dewa-Dewi juga digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu:
Dewa-Dewi
Sien Thien. Maksudnya adalah Dewa-Dewi yang tidak diketahui sejarahnya.
Dan mungkin sekali keberadaannya sudah ada jauh sebelum adanya
peradaban manusia, atau bahkan (dipercaya) sudah ada jauh sebelum bumi
tercipta. Contohnya antara lain: Yi Vang Ta Ti (Tien Kung), Ciu Thien
Sien Nie dll.
Dewa-Dewi
Hou Thien. Maksudnya adalah kelompok Dewa-Dewi yang berasal dari
manusia yang (dianggap) telah mencapai kesempurnaan. Karenanya
seringkali Beliau memiliki catatan otentik kehidupan saat menjadi
manusia. Contohnya antara lain Pat Sian, Tien Sang Shen Mu. Juga legenda
Hakim Bao yang menjadi Hakim Neraka.
Dalam
perkembangannya Agama Rakyat tercampur dengan ajaran Buddha. Sehingga
kadang umat Klenteng mencampur adukkan antara Shen Sien yang
diterjemahkan sebagai Dewa dengan deva, yaitu makhluk yang hidup di alam
surga menurut ajaran Buddha. Apalagi deva juga diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia menjadi dewa. Padahal sebenarnya pengertian antara Shen
Sien dengan deva tidaklah sama.
Untuk bisa mencapai tingkat Shen Sien, maka manusia harus Membina Diri untuk mencapai kesempurnaan yang targetnya antara lain:
§ Mencapai kesempurnaan Fisik.
§ Mencapai kesempurnaan batin / kesadaran dengan mencapai Pencerahan.
§ Mencapai kesempurnaan Sukma dengan mencapai Keabadian.
§ Memupuk perilaku Kebajikan, menjadi manusia Bijaksana.
Selain
itu ada lagi target akhirnya yaitu ‘Tien Ren Hek Yi’ atau ‘kembali’ ke
Wu Chik. Sedangkan agar ‘terlahir’ di alam surga menjadi deva
(dipercaya) "targetnya" tidaklah selengkap hal diatas. Selain itu ada lagi sosok yang ‘menjadi’ Dewa karena ‘didewakan’, namun ini adalah suatu persoalan tersendiri.
Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Kepercayaan Tradisional Tionghoa
Secara garis besar maka jenis – jenis dewa-dewi yang dipuja dalam kepercayaan tradisional ini berdasarkan asal usulnya adalah :
- Bentuk penghormatan kepada alam (Ze Ran Chong Bai)
Kategori
ini termasuk dewa-dewi yang paling awal karena telah ada sejak zaman
dahulu kala jauh sebelum munculnya penghormatan jenis lainnya. Karena di
zaman dulu, alam merupakan tantangan keras bagi leluhur bangsa Tionghoa
untuk bertahan hidup, maka leluhur bangsa Tionghoa berusaha hidup
harmonis dalam kerasnya alam. Catatan yang perlu diingat adalah sebagian
dari Dewa jenis ini memiliki history sebagai manusia yang pada masa
hidupnya adalah merupakan manusia biasa, pejabat bahkan Raja yang
semuanya pernah berjasa bagi masyarakat dan dikagumi. Dewa-dewi dari
jenis penghormatan ini misalnya :
- Yu Huang Da Di = Raja Langit, merupakan bentuk penghormatan pada langit.
- Fu De Zheng Shen (Tu Di Gong atau Tho Te Kong) = Dewa Bumi/Tanah, merupakan penghormatan pada bumi.
- Wu Lei Yuan Shuai (Lei Gong atau Li Kong) = Dewa Petir, merupakan penghormatan pada petir.
- Dan masih banyak lagi
- Bentuk penghormatan kepada leluhur (Zu Xian Chong Bai) Kategori ini muncul setelah adanya pengaruh Konfusianisme yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada leluhur, terutama yang berjasa dan berkontribusi bagi orang banyak. Bila tidak ada leluhur, tentu kita tidak akan berada di sini sekarang.
- Dewa-dewi bentuk penghormatan terdiri dari tokoh-tokoh sejarah besar, tokoh-tokoh mitologi yang dianggap sebagai leluhur jauh maupun dekat, misalnya :
- Tokoh2 sejarah : Kaisar pra-Dinasti Xia seperti Yao, Shun dan Yu.
- Kong Zi Gong = Konfusius/Khonghucu, lambang kebijakan.
- Fo Zu = Buddha Sakyamuni/Hud Cho.
- Tai Shang Lao Jun = Lao-tse.
- Guan Sheng Di Jun = Kwan Kong, lambang kesetiaan.
- Bao Gong = Bao Zheng/Hakim Bao, lambang keadilan.
- Tian Shang Sheng Mu = Ma Zu/Ma Cho, lambang bakti anak terhadap orang tua.
- Tokoh mitologi (Dalam pengertian belum ditemukan bukti otentik bahwa tokoh-tokoh ini pernah hidup sebagai manusia) :
- Yuan Shi Tian Wang = Pan Gu, tokoh mitos penciptaan alam semesta.
- Nu Wa Niang Niang = Nu Wa, tokoh mitos penciptaan manusia.
- Qi Tian Da Sheng = Sun Go Kong, tokoh mitos dalam cerita Perjalanan ke Barat (Xi You Ji).
- Xuan Yua Shi = Huang Di, kaisar purba di abad 27 SM.
- Wu Ke Da Di = Shen Nung, ahli pertanian dan obat tradisional.
- Bentuk lain – lain (Shu Wu Chong Bai) Kategori ini adalah bentuk penghormatan yang tidak termasuk ke dalam kategori di atas. Misalnya :
- Men Shen = Dewa Pintu.
- Zao Jun = Dewa Dapur.
Bila
diperhatikan, maka hampir semua dari dewa-dewi yang ditinggikan di
dalam kepercayaan tradisional ini adalah dimanusiakan tanpa memandang
bentuk asalnya. Ini terutama terlihat dalam bentuk penghormatan pada
alam maupun bentuk – bentuk lain. Namun apapun bentuk yang ditunjukkan
(patung, papan nama penghormatan dan lain – lainnya), yang dipuja dan
dihormati tentu bukan bentuk real darinya.
Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Perkembangannya pada Peribadatan Beragama Masyarakat Tionghoa
Seringkali
kita melihat prosesi gotong Toapekong, orang yang sujud berdoa,
bertanya dengan ciamsie dan lain-lain. Pemandangan ini dapat kita lihat
di kelenteng-kelenteng. Pada kenyataannya, semua yang kita lihat itu
hanya permukaan dari kepercayaan orang Tiongkok, permukaan itu
mengandung pemahaman yang luas dan berisi makna filosofis yang mendalam.
Makna dan pemahaman itu tidak dapat kita lihat atau pahami seperti kita
hanya melihat patung-patungnya atau prosesinya.
Ketika
kita melihat seorang nenek tua yang dengan sujud bersembayang, pasti
ada banyak orang yang tidak mengerti beranggapan bahwa nenek tua itu
percaya tahayul, menyembah berhala, tidak berpendidikan, kuno dan
sebagainya. Tapi seandainya kita merenungkan lebih mendalam, nenek tua
yang begitu bersujud tentunya keyakinan yang timbul dari hatinya sendiri
dan ada pengharapan serta keyakinan yang teguh dan kuat. Tidak perduli
keyakinan, pengharapan itu bersifat psikologis atau tidak, bagi saya
nenek tua itu sedang mencari ketenangan dan rasa aman dari dewa dewi
yang ia yakini.
Dalam
memandang masalah dewa dewi ini diperlukan suatu bentuk toleransi yang
besar sehingga cara memandang kita akan menjadi berbeda dan kita bisa
hayati betapa dalamnya makna filosofis yang terkandung didalamnya serta
betapa berharganya kepercayaan masyarakat itu.
Disini
penulis bersikap netral, Tapi disisi lain saya mencoba untuk
menghormati dewa dewi Tiongkok yang merupakan bagian dari budaya
Tionghoa dan pada perkembangannya telah melewati batasan-batasan
keagamaan.
Diatas
kita telah mengenal pemilahan dewa dewa Tiongkok. Disini kita mencoba
melihat apa yang sebenarnya dipikirkan masyarakat jaman itu dari unsur
psikologi dan filosofis yang kemudian membuat Dewa dan Dewi Tionghoa
dipuja dan dihormati.
Jaman
dahulu , orang Tiongkok memiliki peribahasa , "Pintar dan jujur adalah
Shen" Banyak tokoh-tokoh jaman purba menjadi Shen (diangkat oleh
masyarakat dan kerajaan) karena jujur, berjasa, pintar. Yang termasuk
kategori ini amat banyak sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa disini
Taoism menyerap banyak dewa-dewa rakyat, walau tidak semua diserap.
Confuciusm bahkan sampai sempat membuat pendaftaran dewa-dewa rakyat
yang pantas dan tidak pantas dihormati karena sangat banyaknya.
Pendataan terakhir yang dilakukan oleh Confuciusm adalah pada masa
dinasti Qing.
Orang
Tiongkok juga beranggapan manusia mati menjadi Gui atau Shen (Gui =
Setan dan masuk neraka, Shen = Dewa dan masuk Surga, ibaratnya sama
seperti agama umumnya yang kita kenal beserta para nabi-Nya). Yang
menjadi gui maka akan kedalam bumi. Perbedaannya disini dengan pemikiran
barat, tidak selalu gui itu jahat dan mencelakakan. Dalam pemikiran
rakyat Tiongkok kuno, ada 2 tempat dasar bumi bagi mereka yang
meninggal. Tai Shan & Feng Du merupakan 2 tempat tersebut.
Setelah
mengenal jenis-jenis dewa dalam pandangan Taoism, disini saya mencoba
menjelaskan makna dan perkembangan bagi masyarakat.
Dalam
menjelaskan hal-hal tersebut diatas, saya tidak membahas masalah
tingkatan 36 surga, tingkatan dewa-dewi, perbedaan shen dan xian. Karena jika hal tersebut diuraikan bisa terlalu panjang dan masih butuh penelitian lebih lanjut.
Pada
prinsipnya fungsi dan makna dewa-dewi Taoism tidak berbeda jauh dengan
dewa-dewi Buddhism. Perlu kita ketahui bahwa dalam perkembangan cerita
dewa-dewi Tiongkok agak berbeda dengan dewa-dewi Yunani. Sepanjang
pengetahuan saya, cerita dewa-dewi Yunani kebanyakan adalah dewa yang
sering mempermainkan manusia, menikahi manusia dan bersenang-senang.
Sedangkan dewa dewi Tiongkok adalah dewa yang membantu manusia,misalnya
Nu Wa. Ada pula tokoh yang berkorban untuk membantu orang lain,
misalnya Huang Da Xian atau Huang ChuPing. Ada pula yang mengajarkan
kebenaran bagi masyarakat, misalnya Zhao Jun.
Dalam
perkembangannya, ada pendapat yang mengatakan bahwa Dewa – dewi
tersebut di sembah untuk mengingatkan kebajikan yang pernah mereka
lakukan. Hal ini dibagi dalam beberapa bagian fungsi. Antara lain :
- Fungsi sebagai sarana untuk mengajarkan kebajikan Mengajarkan kebajikan adalah salah satu pilar dari semua agama. Tiada agama yang tidak mengajarkan kebajikan. Disini dalam perjalanan sejarah Tridharma (saya menyingkat ke 3 agama menjadi Tridharma agar lebih mudah) di Tiongkok menyerap dewa-dewi sebagai salah satu sarana untuk mengajarkan kebajikan. Kebanyakan kisah-kisah dewa memiliki makna kebajikan yang mendalam. Misalnya Zhang Fu De atau Fu De Zheng Shen, Mu Jian Lilan
- Dewa-dewi sebagai penolong Selain sebagai pengajar kebajikan , banyak dewa-dewi adalah penolong manusia dan segala mahluk. Baik dari segi mitos maupun fakta sejarah. Cara menolongpun berbeda-beda.
- Menolong yang sakit dan meninggal. Tokoh pengobatan Sun Se Mao dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu pengobatan yang tinggi sekali , bahkan pernah menolong seorang bayi dalam kandungan ibunya yang telah meninggal 1 minggu. Beliau digelari sebagai Yao Wang. Wu Ben yang juga sebagai tokoh pengobatan digelari Bao Sheng Da Di. Dalam Buddhism juga mengenal Bhaisajyaguru Buddha. 3 kaisar purba yaitu Fu Xi, Shen Nong dan Huang Di masuk dibanyak kategori dimana salah satunya adalah sebagai penolong bagi yang sakit dan meninggal.
- Membasmi kejahatan dan memakmurkan masyarakat. Banyak dewa-dewi merupakan pembasmi siluman atau setan yang mengganggu rakyat. Misalnya Zhang Dao Ling atau Zhang Tian Shi, Kim kong , Zhong Tan Yuan Shuai.
- Menyebarkan kebajikan, menolong orang yang menderita, menolong yang kekurangan. Dewa-dewanya seperti Ji Gong, Dan Yang Zhen Ren,Bao Qing Tian.
- Menolong mereka yang telah meninggal, roh-roh gentayangan, roh- roh penasaran, menyadarkan roh-roh yang tersesat. Bagi keluarga yang ditinggalkan oleh yang dikasihi tentunya memerlukan suatu bentuk keyakinan kemanakah perginya, siapa yang membantu mereka, bagaimana seandainya orang jahat yang meninggal, siapa yang membantu mereka yang berada dineraka dan lain-lain. Berbeda dengan pemahaman agama lain, dewa-dewi Tiongkok percaya bahwa roh-roh jahat juga bisa disadarkan, mereka yang terjebak dalam neraka bisa ditolong dan diangkat ke surga dengan bantuan para dewa. Jadi dalam pemikiran rakyat Tiongkok, neraka bukanlah bentuk yang abadi dan tidak ada penyelamat. Istilah populer dalam Buddhism adalah "Kalau bukan Aku yang ke neraka menyelamatkan mereka yang menderitai siapa lagi", "Aku tidak akan memasuki nirvana selama neraka masih penuh." Taoism juga mengenal tokoh-tokoh seperti Buddhism itu, misalnya Tai Yi Jiu Ku Tian Zun, Dong Yue Da Di. Ksitigarbha Bodhisatva.
- Fungsi sosial masyarakat dan moralitas. Masyarakat yang mengenal makna-makna yang terkandung dibalik dewa- dewi tentunya akan mengetahui hukum karma, tidak berbuat jahat, percaya dengan berbuat kebajikan akan menuai buah yang baik, memiliki sifat welas asih, menghargai tokoh-tokoh yang berjasa, menghargai para leluhur yang dengan kebajikannya menjadi dewa. Mereka juga tidak perlu takut menghadapi kematian karena dewa-dewanya akan menolong mereka memberi ketenangan dan rasa yakin dari misteri dibalik pintu kematian. Secara umum, orang Tionghua tidak begitu perduli akan dunia kematian, karena mungkin telah tertanam dalam pikiran mereka bahwa dengan berbuat baik maka surga berada ditangannya.
- Bodhisatva Bodhisatva merupakan dewa yang amat sangat banyak dipuja oleh orang-orang Tionghua, terutama Avalokitesvara Bodhisatva yang dipercaya menolong manusia dan welas asih. Selain itu masih ada bodhisatva lainnya seperti Ksitigarbha bodhisatva, Manjusri Bodhisatva, Maha Cundi Bodhisatva dan lain-lain. Rata-rata bodhisatva memiliki metta karuna untuk menyelamatkan segala mahluk.
- Pelindung Dharma. Dewa pelindung dharma kadang suka rancu menjadi bodhisatva. Qie Lan Pu Sa yang sering disebut orang, padahal merupakan kumpulan dari 18 shan shen. Lebih tepat menyebutnya Qie Lan Shen. Figur Qie Lan dalam Buddhisme Tiongkok adalah tokoh pahlawan terkenal Guan Yun Zhang. Qie Lan Shen adalah pelindung umat Buddhism. Yang lain adalah Wei Tuo Shen atau kadang sering disebut Wei Tuo Pusa, Wei Tuo Tian. Dipercaya Beliau merupakan pelindung vihara. Selain yang diatas masih ada lagi yang disebut Tian Long Ba Bu, tapi ingat yang dimaksud Tian Long Ba Bu itu bukan cerita silat karangan Jin Yong.
Setiap
manusia berpegang pada apa yang dia percaya, dengan percaya kepada
kebaikan, kejujuran, kesetiaan dan keadilan, masyarakat Tionghoa percaya
bahwa dirinya bisa "tertolong" bisa "terselamatkan". Pada dasarnya ini
sama dalam semua ajaran, bahwa kita mempercayai kebaikan. Kepercayaan
ini sendiri tidak membuat masyarakat Tionghoa yang "mengerti"
mengagungkan lainnya dan tidak berdoa kepada Tuhan. Thian Kung (Tuhan)
dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa adalah pusat dari segalanya.
Dengan mengerti hal ini maka kitapun lebih paham mengapa saat masyarakat
Tionghoa berdoa selalu memulai dari depan yakni ke hadapan Thien Kung
dan kemudian baru bersujud kepada Shen Sian untuk menghormati dan
mengagumi serta meneladani apa yang Beliau ajarkan.
Semoga
dengan ini semua masyarakat Tionghoa lebih mengerti dan tidak tercebur
pada kesalahan pemahaman yang akhirnya membuat salah kaprah dan
perbuatan yang keliru. Dengan demikian asal usul serta adat istiadat
tidak hilang karena pemikiran yang keliru.
Sumber Penulisan :
- Li Xiaoxiang,"Origins of Chinese People and Customs
- Seminar "Budaya Tionghoa di Indonesia" oleh Madame Claudine Salmon & Myra Sidharta 21 Oct'11
- Confucius, 1967, Li Chi: Book of Rites, trans. James Legge, New Hyde Park: University Book
- Jung, Hwa Yol, 1981, “The Orphic Voice and Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, pp. 329-340
- Kohr, Gary, 2201, “Environmental Chi
–Feng Shui” in Living Chi: The Ancient Chinese Way to Bring Life Energy
and Harmony into Your Life, Boston: Tuttle Publishing
- Lao Tzu, 1995, Tao Te Ching: The Book of Meaning and Life, trans. H.G. Oswald, New York:
Penguin Books
Penguin Books
- Lie Tek Tjeng, 1983, Studi Wilayah Pada Umumnya, Asia Timur Pada Khususnya, Bandung: Penerbit Alumni
- Pound, Ezra, 1969, Confucius: The
Graet Digest, The Unwobbling Pivot, The Analects, New York: New
Direction Publishing Corporation
PROSESI PERNIKAHAN ADAT CHINA
Pernikahan
adalah momen yang paling luar biasa dalam kehidupan manusia dimana saat
itu baik sang pria maupun sang wanita memutuskan untuk membentuk
keluarga sendiri dan menyambung keturunan mereka.
Sehingga
melihat hari, jam dan tanggal baik merupakan salah satu hal yang wajib
diperhitungkan bagi tradisi adat China. Diharapkan, hari, tanggal dan
jam baik tersebut adalah sebagai doa sehingga kedua mempelai bisa
menikmati kehidupan pernikahan mereka dengan bahagia sampai akhir hayat
mereka.
Dengan
banyaknya kebutuhan yang harus dilengkapi dan kekurang pengetahuan akan
hal itu, tidak jarang banyak pasangan yang akhirnya menyerahkan kepada
orang tua mempelai. Pesta pernikahan bukan hanya sebagai simbol
sementara, bahwa pasangan telah resmi dalam ikatan. Namun bagi keluarga
sepuh yang sangat memperhatikan adat istiadat, mereka menganggap bahwa
pernikahan adat China haruslah sakral, bukan hanya untuk kedua pasangan
namun juga ikatan antara kedua belah keluarga.
Dalam prosesi pernikahan Cina yang otentik, terdapat aturan khusus yang disebut 3 (tiga) kata & 6 (enam) etika (三書六禮). Dimulai dari Meminang, Membawa Antaran Pinangan, Membawa Hantaran Kawin (过大礼/纳彩), Tunangan, Menjemput Penganten dan Upacara Pernikahannya sendiri.
Pada
masa awal, bila seorang pemuda atau orang tua pemuda tertarik pada
seorang pemudi, maka diutus seorang mak comblang kerumah pemudi tersebut
untuk bertemu dengan orang tuanya membawa hantaran pinangan. Mak
Comblang segera menukarkan kartu yang berisi nama, usia dan hal-hal
lainnya sehubungan dengan pemuda-pemudi tersebut untuk melihat adanya
kecocokan Suan Ming (Chinese fortune telling). Dan bila kedua pihak sudah sepakat, maka dibuatlah acara pertunangan.
Pada
jaman era dinasty dimana Paham Confusius sebagai pondasi negara,
pernikahan harus dilakukan oleh kedua insan dengan nama marga yang
berbeda, dan setelahnya tugas keduanya adalah untuk melanjutkan garis
keluarga pihak laki-laki. Sebelum jaman ini, kebanyakan pernikahan
hanyalah berupa pasangan pria dan wanita yang hidup bersama tanpa
upacara pengukuhan ikatan apapun.
Pernikahan & Mitos
Mitos pernikahan paling populer adalah mitos pernikahan Nüwa dan Fu Xi.
Pada dasarnya keduanya merupakan saudara. Kisahnya bermula dimana saat
itu bumi belumlah memiliki populasi, sehingga keinginan mereka untuk
menikah dimaklumi namun keduanya merasa malu akan hal tersebut. Sehingga
mereka naik ke Gunung Kun Lun untuk berdoa kepada langit. Bila langit
mengijinkan pernikahan mereka, buatlah keajaiban untuk membuat mereka
tidak tampak/dalam samaran.
Kemudian langit mengijinkan pernikahan mereka dan membuat wajahnya Nüwa menjadi samar. Namun untuk menutup rasa malunya, Nüwa
menutup wajahnya dengan kipas. Hingga saat ini dibeberapa pedesaan Cina
masih digunakan kipas untuk menutup wajahnya pengantin wanita.
Kurang
memahami pernik yang digunakan dalam adat upacara perkawinan sering
dijumpai dalam masyarakat modern keturunan di Indonesia. Namun sekarang
sudah terbantu dengan banyaknya dijual bermacam – macam asesoris untuk
perkawinan dengan menyesuaikan adat China baik yang masih otentik dan
juga ada yang sebagai perhiasan untuk memperindah prosesinya.
Dalam
tradisi China proses lamaran dilakukan kira-kira seminggu sebelum
berlangsungnya pernikahan. Lamaran merupakan pemberian barang dari
mempelai pria untuk mempelai wanita yang nantinya akan digunakan oleh
kedua calon mempelai untuk kehidupan setelah masa pernikahan. Barang
yang diserahkan biasanya melambangkan kelanggengan, kesuburan dan juga
kebahagiaan untuk pasangan. Yang unik dari barang lamaran pada adat ini
ialah banyaknya nominal 9 (jiu) atau 8 (fat) yang menjadi kunci pokok
langgeng dan berkembangnya kebahagiaan bagi kedua mempelai.
Barang yang menjadi hantaran biasanya berupa:
-
Uang; dalam masyarakat modern biasanya jumlahnya sudah ditentukan
bersama contohnya Rp. 9.999.900 atau pada masa otentik yakni emas dalam
kadar angka 9.
- Perhiasan berupa kalung, gelang, anting didalam kotak merah (khusus bagi orang canton, dibuat dalam 4 barang emas 四点金).
- Peralatan sehari – hari (peralatan mandi, peralatan makan, dll),
- Satu set peralatan Tea Pay, Termasuk Lilin Naga & Phoenix 龙凤烛
- Kue Pia atau bolu (dibagikan kepada sanak saudara yang membantu),
- Makanan laut yang sudah dikeringkan (juhi, sirip ikan “yu che”)
- Kacang – kacangan (almond, hijau & merah) atau saat ini diganti dengan kue kacang-kacangan,
- Sepasang kaki babi untuk melambangkan keselamatan,
- Kelapa bulat yang ditempel aksara Chinese berarti ‘Double Happy’,
- Buah – buahan segar (jeruk, apel, anggur dll.)
- Akar teratai “Lian Au”, melambangkan rukunnya tiga generasi; orang tua, anak dan cucu, sedangkan buah teratai kering “Lian Ce”, melambangkan keturunan.
- Permen atau gula batu melambangkan manisnya kehidupan semanis mempelai wanita.
- Perhiasan berupa kalung, gelang, anting didalam kotak merah (khusus bagi orang canton, dibuat dalam 4 barang emas 四点金).
- Peralatan sehari – hari (peralatan mandi, peralatan makan, dll),
- Satu set peralatan Tea Pay, Termasuk Lilin Naga & Phoenix 龙凤烛
- Kue Pia atau bolu (dibagikan kepada sanak saudara yang membantu),
- Makanan laut yang sudah dikeringkan (juhi, sirip ikan “yu che”)
- Kacang – kacangan (almond, hijau & merah) atau saat ini diganti dengan kue kacang-kacangan,
- Sepasang kaki babi untuk melambangkan keselamatan,
- Kelapa bulat yang ditempel aksara Chinese berarti ‘Double Happy’,
- Buah – buahan segar (jeruk, apel, anggur dll.)
- Akar teratai “Lian Au”, melambangkan rukunnya tiga generasi; orang tua, anak dan cucu, sedangkan buah teratai kering “Lian Ce”, melambangkan keturunan.
- Permen atau gula batu melambangkan manisnya kehidupan semanis mempelai wanita.
- Brandy
Selain
itu juga diberikan angpau/uang sebagai "pengganti" biaya pengantin
wanita yang diberikan untuk orang tua mempelai wanita yang hanya
disediakan bila pengantin wanita akan ikut dengan pengantin pria setelah
menikah nanti.
Dalam
pengembaliannya, keluarga wanita menyiapkan 2 (dua) botol syrup untuk
diganti dengan brandy. Semua hantaran dihitung dengan jumlah tepak /
baki / dulang yang sama dengan yang dihantar sebelumnya ditambah dengan
lilin phoenix sepasang. Dan untuk Orang hokkian, diberikan juga pisang
sebagai pengembaliannya serta sepatu untuk pengantin pria.
Menghias Kamar 按床
Setelah semua acara lamaran sudah dipersiapkan, kini saatnya merapikan tempat peraduan kedua mempelai. Tradisi merias kamar pengantin dilakukan juga seminggu sebelum Hari H berlangsung. Menghias kamar merupakan salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh para orang tua kedua mempelai.
Di
era modern, menghias kamar dapat dilakukan oleh para perias pengantin.
Namun bagi masyarakat Tionghoa dulu, merias kamar menjadi tradisi yang
ditunggu – tunggu oleh para keluarga kedua calon mempelai. Orang yang
menghias kamar pengantin biasanya ialah kerabat yang sudah menikah dan
kehidupan pernikahannya terkenal langgeng, ini melambangkan agar dapat
menjadi contoh bagi kedua calon mempelai. Didalam tempat tidur
diletakkan beberapa barang sebagai berikut (yang mana tidak
saya-penulis, indonesiakan untuk tidak mengurangi arti) : dried longans,
lotus seeds, red dates, persimmons, sprig of pomegranate leaves together with 2 red packets are placed on the bed.
Menghias
kamar pengantin dengan warna merah melambangkan kebahagiaan dan
semangat hidup, lampu lentera juga kerap diletakkan di dalam kamar.
Dengan maraknya lampu yang ada, diharapkan pernikahan ini akan menerangi
bagi pasangan dalam melangkah kehidupan bersama. Sebagai simbol
lancarnya keturunan mempelai, kamar yang sudah rapih biasanya ditiduri
oleh bayi atau balita serta diletakkan lampu sepasang disebelah tempat
tidur calon pengantin.
Dari
semua arti positif yang terkandung dalam setiap barang dan perbuatan,
ada juga larangan yang tidak boleh dilakukan oleh para mempelai di dalam
kamar ini yaitu salah seorang mempelai, baik itu mempelai pria maupun
wanita, tidak diperkenankan tidur sendiri tanpa pendamping. Secara tidak
langsung hal ini berarti menjauhkan mereka dari kehilangan salah satu
pasangan, entah karena bercerai atau meninggal.
Semua
benda didalam kamar ditempelkan dengan tulisan double joy 双喜 mulai dari
barang-barang pribadi sampai meja rias dan lainnya. Selain itu hiasan
yang umumnya digunakan saat jaman dynasty adalah potongan kertas/gambar
bebek peking, naga dan burung phoenix dan semuanya ditempelkan sepasang.
Upacara
Pagi
hari sesaat sebelum upacara dilakukan setelah selesai mandi, mempelai
pria dan wanita diharuskan memakai pakaian putih. Sambil disisir 4 kali
dari kepala hingga ujung rambut oleh kerabat dekat yang masih lengkap
keluarganya 梳头, diucapkanlah juga empat kalimat ini : sisiran
pertama “hidup bersama sampai rambut beruban (梳梳到尾)” sisiran kedua
“rumah tangga harmonis (二梳百年好合)” dan sisiran ketiga “diberkati dengan
banyak keturunan (三梳子孙满堂)” sisiran keempat "diberkati dengan panjang
umur (四梳白发齐眉)".
Setelah
melakukan ritual pagi, tibalah saatnya untuk upacara. Upacara dimulai
dengan sembahyang untuk para leluhur demi meminta ijin berlangsungnya
acara, setelah itu keluarga beserta kedua calon mempelai menikmati
hidangan kue onde, ini melambangkan agar acara yang akan dilangsungkan
berjalan dengan lancar, layaknya bola yang bergelinding.
Tibalah
saatnya untuk Tea Pay, Fungsi dari Tea pay sendiri ialah layaknya
perkenalan bagi para calon mempelai dengan keluarga dari kedua belah
pihak. Selain itu upacara yang dapat berarti “jualan teh” ini juga
sebagai penghormatan dari kedua calon mempelai kepada orang tua dan
kerabat sepuh agar mendoakan mempelai menjadi pasangan yang bahagia
lahir batin dalam susah dan senang.
Prosesinya
pun cukup mudah, kedua mempelai berlutut atau membungkuk, sambil
menjamu dan mempersilahkan kedua orang tua menikmati teh yang telah
dituang oleh mempelai pria dan diberikan oleh mempelai wanita. Lalu
setelah prosesi jamuan minum selesai, kedua mempelai dibayar atau diberi
hadiah berupa angpao biasanya berisi perhiasan ataupun uang. Untuk
perhiasan, orang tua biasanya langsung memakaikan kepada mempelai wanita
dan untuk uang angpao akan di letakkan di atas nampan atau saku
mempelai pria.
Semua
prosesi adat di atas dapat dilakukan di jaman sekarang, hanya saja bila
masih ada perhelatan lain, sebut saja seperti pemberkatan di gereja
atau juga acara resepsi. Tidak menutup kemungkinan sebagian masyarakat
telah menyederhanakan bagian dari adat tersebut.
Pada
literatur kuno, dikisahkan bahwa pernikahan seyogyanya dilakukan pada
malam hari dimana merupakan waktu yang tingkat keberuntungannya paling
besar serta semua depan pintu ruangan ditempelkan banner merah 红彩帘.
Sumber Tulisan:
- Diamant, Neil J. 2000. Revolutionizing the Family: politics, love and divorce in urban and rural China, 1949-1968. University of California Press.
- ^ Rubie Sharon Watson, Patricia Buckley Ebrey, Joint Committee on Chinese Studies (U.S.) (1991). Marriage and inequality in Chinese society. University of California Press. p. 225. ISBN 0520071247. Retrieved 2011-05-12.
- ^ Romantic Materialism (the development of the marriage institution and related norms in China), Thinking Chinese, October 2011
- http://www.983wedding.com/chinese/
Hari Raya Cio Ko
Zhong
Yuan Jie (Hok Kian: Tiong Gwan Cwe) diperingati setiap tahun pada
tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek. Orang-orang pada umumnya juga
menyebutnya sebagai Hari Raya Hantu (Ghost Festival).
Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka !!! Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.
Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.
Di daerah-daerah & propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.
Versi Buddhis Mahayana
Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :
Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).
Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa nyana, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.
Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya: Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu !
Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.
Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.
Setelah Maha Moggalana mendengarnya, lalu bertanya lagi : Semua orang yang berbakti, apakah boleh ikut serta dalam “Yi Lan Pen” ?
Sang Buddha menjawab : Sangat bagus ! Sangat bagus !
Ikut serta dalam Yi Lan Pen boleh membaca paritta Yi Lan Pen Jing. Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.
Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka !!! Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.
Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.
Di daerah-daerah & propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.
Versi Buddhis Mahayana
Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :
Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).
Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa nyana, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.
Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya: Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu !
Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.
Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.
Setelah Maha Moggalana mendengarnya, lalu bertanya lagi : Semua orang yang berbakti, apakah boleh ikut serta dalam “Yi Lan Pen” ?
Sang Buddha menjawab : Sangat bagus ! Sangat bagus !
Ikut serta dalam Yi Lan Pen boleh membaca paritta Yi Lan Pen Jing. Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.
Pattidana Vs Cio Ko (Ulambana)
Sering orang salah pengertian bahwa upacara Pattidāna sama dengan upacara Cio Ko atau Cio Sie Kow yang dikenal sebagai sembahyang rebutan yang dilakukan di kelenteng-kelenteng Taois atau Vihara Avalokiteswara.
Upacara Cio Ko atau
”sembahyang rebutan“ berdasarkan kepercayaan dalam cerita See Yu atau
perjalanan ke Barat. Upacara ini dilakukan setelah tanggal 15 Imlek
bulan ke tujuh (Cit Gwee).
Karena sebelum tanggal tersebut keluarga masih melakukan sembahyang
leluhur di rumah atau di makam, sehingga disebut sebagai ”sembahyang
kubur”. Upacara Cio Ko ditujukan untuk ”arwah” yang mendapat cuti berkunjung ke rumahnya tetapi keluarganya sudah tidak mengingat mereka lagi.
Sedangkan upacara Pattidāna berdasarkan
kejadian ketika Raja Bimbisara di Rajagaha mengundang Buddha Gotama
dengan para siswa-Nya santap siang. Karena sangat bahagia raja lupa
untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhurnya yang terlahir di
alam peta, sehingga pada malam hari mendapat gangguan dari peta-peta
tersebut. Maka keesokan harinya raja mengundang kembali Guru Agung
Buddha dan melimpahkan jasanya kepada leluhurnya.
Jadi upacara Pattidāna dapat dilakukan kapan saja bila kita mendapat kesempatan berbuat baik dan pikiran sedang bahagia. Upacara Pattidāna bukan ”upacara duka”. Paritta Avamaïgala
dibaca atau diulangi agar yang mendengar dan setelah tahu artinya bisa
berubah pikiran dari bersedih menjadi bijaksana dan rela melepas orang
yang dicintai.
Sumber Tulisan :
1. Saduran "Journey to the west"
2. http://jindeyuan.org/ghost-festival-cioko/index.htm#comment-157
3. Dhammadesana Bhikkhu Sri Subalaratano (Minggu, 29 Agustus 2010)
No comments:
Post a Comment