BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Latar
belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Kebudayaan suku tionghoa adalah untuk mencari
tahu bagaimana masyarakat Tionghoa di Indonesia merasa dan memahami identitas
mereka, khususnya identitas kebudayaan yang berasal dari keturunan
Tionghoanya.Hal-hal yang harus diperhatikan oleh kita dalm penelitian ini
adalah pemeriksaan tentang hukum-hukum yang dibuat selama periode pemerintahan
Suharto, yaitu Orde Baru.
Penelitian tentang identitas kebudayaan Tionghoa
di Indonesia akan selalu berkaitan dengan hukum-hukum tersebut di atas karena
selama 30 tahun silam, hukum hukum ini sudah mengatur keberadaan identitas
masyarakat Tionghoa dengan mengatur adanya penyelengaraan aspek-aspek yang
paling penting untuk kebudayaan Tionghoa. Penelitian harus mengikut sertakan
sebuah penafsiran mengenai kondisi social dan bersejarah yang bercokol pada
zaman dan periode yang terjadi sebelum Orde Baru, berserta pembauran hukum
hukum tersebut sehingga timbul pemahaman tentang dasaran yang tidak resmi untuk
hukum-hukum sejenis ini.
Akibatnya, informasi ini akan membantu si
peneliti mengerti pemikiran yang menjadi dasaran resmi, yang menjelaskan
penciptaan hukum-hukum ini., yaitu untuk mendorong pembauran lengkap terhadap
masyarakat Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia yang lain sekitarnya. Pembauran lengkap punya arti tertentu untuk
pemerintahan Suharto. Artinya adalah bahwa semua hubungan, termasuk kaitan
kebudayaan, social, dan politik seharusnya dihapuskan.
Hukum-hukum ini termasuk pelarangan pemakaikn
bahasa Tionghoa apapun, baik yang ditulis maupun yang diucapkan, serta
penggunaannya sebagai bahasa pengajaran di sekolah-sekolah di Indonesia. Juga
ada hukum-hukum yang melarang dan menolak agama-agama yang kebanyakan penganutnya
adalah orang-orang Tionghoa, yaitu, Kong Hu Chu, serta melarang adanya tempat
untuk mereka beribadah.
1.2
Rumusan masalah
·
Apakah
tionghoa itu?
·
Dari
mana asal kata tionghoa?
·
Bagaimana
populasi tionghoa di Indonesia?
·
Dari
mana daerah asal Cina?
·
Dimanakah
daerah konsentrasi cina?
·
Bagaimana
sejarah tionghoa pada era colonial?
·
Bagaimana
sejarah tionghoa pada era reformasi?
·
Apa
saja contoh budaya tionghoa?
·
Perayaan perayaan masyarkat tionghoa
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 ASAL KATA TIONGHOA
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat
sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Tionghoa ( dialek dari kata中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah: dalam Bahasa Mnadarin ejaan Pinyin,kata
ini dibaca “Zhonghua”) merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau
ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk
menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena
sering digunakan dalam nada merendahkan.
Kata
ini juga dapat merujuk kepada orang-orang keturunan Cina yang tinggal di luar Republik Rakyat Cina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah
dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok
untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih
demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Cina dengan
mendirikan Republik Cina (中華民國, Zhonghua
Minguo) pada tahun 1911, setelah
menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan
Revolusi Cina ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan
penggunaan kata Zhonghua untuk
negara Republik Rakyat Cina (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.
Pembicaraan
mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang
Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa
merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari
kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia
walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami
proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan
nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih
memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama
Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.
Selain
itu Tionghoa dapat mengacu
kepada beberapa hal berikut:
·
Tionghoa-Indonesia
Suku
bangsa Tionghoa
(biasa disebut juga Cina[3]) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut
dirinya dengan istilah Tenglang
(Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan
yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara
menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人,
hanyu
pinyin:
hanren, "orang Han").
Leluhur
orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun
yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik
Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan
bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang
berkuasa di Cina. Faktor inilah yang
kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari
Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah
negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia
digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai
Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Asal kata Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat
sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai
sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk
terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih
demokratis dan kuat. Wacana
ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok
orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu
mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah
naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya
diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe
Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan
bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang
Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina"
menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.
2.2 Populasi Tionhoa di Indonesia
Berdasarkan
Volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda,
populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia
di tahun 1930.[5] Tidak ada data resmi
mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak
Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya
pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai
2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.
Dalam
sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk
pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1%
dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan
kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah
berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
2.3 Daerah asal
di Cina
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara
Cina, menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar
berlayar untuk berdagang. Tujuan
utama saat itu adalah Asia Tenggara. Karena pelayaran sangat tergantung pada
angin musim, maka setiap tahunnya para pedagang akan bermukim di
wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada
pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula
pedagang yang pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang
Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk
suku-suku:
·
Hakka
·
Hainan
·
Hokkien
·
Kantonis
·
Hokchia
·
Tiochiu
Daerah
asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari
sejak zaman Dinasti Tang,
kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar
perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan
tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
2.4 Daerah konsentrasi Tionghoa
Sebagian
besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka
juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Hakka - Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura. Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
Hokkien - Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon. Kantonis - Jakarta, Makassar dan Manado. Hokchia - Jawa (terutama
di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya). Tiochiu - Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Di
Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat
dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang
lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih
ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan
jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan
Melayu.
2.5 Sejarah
A. Masa-masa awal
Orang
dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara. Beberapa catatan tertua
ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo
mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk
belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan
berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran Tiongkok pun mulai
berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing
yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anak benua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa
Timur disebut suatu istilah, Juru Cina,
yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana.
Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari
motif-motif kain sutera Tiongkok.
Catatan Ma Huan, ketika turut
serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut
secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen
penduduk kerajaan itu. Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang,
ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas
sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang). Wang kemudian menetap
karena tidak mampu mengikuti ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi
salah satu cikal-bakal warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho
menjadi sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po
Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di komplek ini
Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".
Sejumlah
sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok
selain keturunan Majapahit. Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga
memiliki darah Tiongkok, meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara
aktif mempraktekkan kultur Tionghoa. Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa
ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun
1407, di masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
B. Era kolonial
Di
masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan
gelar Kapiten Cina, yang
diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas
Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat
umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang
membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi
Bupati Yogyakarta.
Sebetulnya
terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik
sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa
berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di
Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik"
Lanfong[rujukan?] berperang dengan pasukan
Belanda pada abad XIX.
Dalam
perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi
sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di
Batavia tersebut [13][14][4] melahirkan gerakan
perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang
dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya
kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak
lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman
etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Pendidikan
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas
dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan
sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis dan didirikan pada tahun 1907
oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu bernama Lauw O Teng beserta kedua
anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang
Tionghoa bisa pintar, (kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan di tahun
1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis
lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada
gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi
generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
2.6 Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi
pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel
itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di
perkotaan. Ketika
perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap
berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah
tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang
dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di
Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh
warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah
anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian
membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
C. Pergerakan
Pemerintah
kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Cina, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada
mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik.
Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa
di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban
pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam
rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha
memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program
tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan
pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan
petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan
rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang
etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan
adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir,
antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda
Tionghoa lainnya. Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak
memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada
1920-an itu, harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata
Belanda inlander di semua
penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai
balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan
kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa
Indonesia
(dan bukan Partai Tjina Indonesia).
D. Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
Pada
masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk
kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat
Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian
penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat
setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa
yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam
status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan
oleh Koran Sin Po.
Dalam
perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka
tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera
Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
E. Pasca kemerdekaan
a. Orde Lama
Pada
Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat
pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno
dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau
pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk
berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini
menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya
menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
b. Orde Baru
Selama
Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut
SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis
Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat
administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang
menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih
dipertanyakan".
Pada
Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus
hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya
Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian
hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional
karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat
yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya
surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola
dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Orang
Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Pada
masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial yang merupakan
peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama warga Tionghoa karena
kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak korban bahkan banyak diantara
mereka mengalami pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Reformasi.
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga
Tionghoa di Indonesia. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal
ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga
pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya,
ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini
telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa
menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu
2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara
Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
2.6 Kebudayaan Tionghoa
A. Nama
Tionghoa
Nama Tionghoa adalah nama yang diekspresikan
dengan karakter Han (Hanzi). Nama ini
digunakan secara luas oleh warga negara Republik Rakyat Cina, Republik Cina, Hong Kong, Makau dan keturunan Tionghoa di negara-negara lainnya. Nama Tionghoa
biasanya terdiri dari 2 karakter sampai 4 karakter, walaupun ada yang lebih
dari 4 karakter, namun umumnya nama seperti itu adalah mengambil terjemahan
dari bahasa lain sehingga tidak dianggap sebagai nama Tionghoa. Nama Tionghoa
mengandung marga dan nama. Marga Tionghoa diletakkan di depan nama,
biasanya 1 sampai 2 karakter; nama mengikuti marga.
a. Evolusi
nama Tionghoa
Di
zaman dahulu, menurut catatan literatur kuno ada peraturan bahwa nama seorang
anak biasanya baru akan ditetapkan 3 bulan setelah kelahirannya. Namun pada
praktiknya, banyak yang memberikan nama sebulan setelah kelahiran sang anak,
bahkan ada yang baru diberikan setahun setelahnya. Juga ada yang telah
menetapkan nama terlebih dahulu sebelum kelahiran sang anak.
Di
zaman Dinasti Shang, orang-orang masih
menggunakan nama dengan 1 karakter. Ini dikarenakan mereka belum mengenal marga
dan juga karena jumlah penduduk yang tidak banyak. Sebelum zaman Dinasti Han, biasanya nama Tionghoa
hanya terdiri dari 2 karakter yang terdiri dari 1 karakter marga dan 1 karakter
nama. Namun setelah Dinasti Han, orang-orang mulai memiliki sebuah nama lengkap
yang terdiri dari 3 karakter (1 karakter marga dan 2 karakter nama
pribadi
- yang terdiri dari 1 karakter nama generasi dan 1 karakter nama diri) selain daripada nama
resmi mereka yang 2 karakter itu. Di zaman Dinasti Jin, orang-orang baru memakai nama
dengan 3 karakter seperti yang kita kenal sekarang.
Nama
menjadi sebuah hal yang penting bagi seseorang dipengaruhi oleh pemikiran Konfusius tentang pentingnya
penamaan bagi penonjolan karakter seseorang. Pada kasus-kasus
yang sangat langka, seseorang dapat memiliki nama dengan lebih dari tiga
karakter : Dua karakter marga (seperti Sima, Zhuge), satu karakter
generasi, dan satu karakter nama diri. Contoh: Sima Xiangru. Satu karakter marga dan
tiga karakter nama. Contoh: Hong Tianguifu (anak dari Hong Xiuquan). Nama marga suku minoritas yang
mengadopsi nama Tionghoa. Contoh: suku Manchu yang menguasai dinasti Qing menggunakan marga Aisin Gioro; kaisar dinasti Qing terakhir
bernama Aisin Gioro Puyi (enam karakter).
b. Nama
Tionghoa di Indonesia
Suku
Tionghoa-Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata masih memiliki
nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang Tionghoa di Indonesia tidak
mengenal karakter Han, namun biasanya nama Tionghoa di Indonesia tetap
diberikan dengan cara romanisasi. Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia
adalah pendatang dari Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim
daripada dialek-dialek lainnya.
Di
zaman Orde Baru, di bawah pemerintahan Suharto, warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk
mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti mengambil sebuah nama
Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono
Salim. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan;
sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat resmi.
Namun
sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi wajar di kalangan
Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini dipolitisir sedemikian rupa.
Anjuran ganti nama tersebut muncul karena ketegangan hubungan Republik Rakyat
Cina dengan Indonesia setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa
(LPKB), Kristoforus
Sindhunata
menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan
nasionalisme bangsa.
Seruan
ini mendapat kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari
kalangan anti-Tionghoa. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan
bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang
menyebabkan nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai
akhir hayatnya. Cemoohan datang dari KAMI dan KAPPI yang pada waktu itu mengumandangkan nada-nada
anti-Tionghoa yang menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang
Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan
RRT di Indonesia ke negara leluhurnya.
Ganti
nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan antara
pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama seseorang, juga karena
tidak ada sebuah nama yang merupakan nama Indonesia asli. Dibawah ini ada
daftar nama marga Tionghoa
yang diindonesiakan, daftar ini belumlah lengkap. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. Daftar
ini diurutkan berdasarkank pinyin. Karakter yang
menggunakan koma berarti ada lebih dari satu macam karakter untuk pinyin yang
sama. Karakter dengan tanda garis miring berarti di sebelah kiri adalah Hanzi tradisional, dan di sebelah kanan Hanzi sederhana.
Marga
Tionghoa
|
Dibaca
|
Ejaan
Latin Hokkian
|
Pengindonesiaan
|
O Yang
|
Auwjong
|
Ojong
|
|
An
|
|
Anadra, Andy, Anita, Ananta,
|
|
Pai
|
|
|
|
Po
|
|
|
|
Jae
|
Tjoa
|
Cahyo, Cahyadi
|
|
Cao
|
Tjo
|
Cokro, Vonco
|
|
Jheng
|
Seng
|
Sengani
|
|
Jhong
|
|
|
|
Jen
|
Tan, Tjhin
|
Tanto, Tanoto, Tanu, Tanutama,
Soetanto, Cendana, Tanudisastro, Tandiono, Tanujaya, Santoso, Tanzil,
Tanasal, Tanadi, Tanusudibyo, Tanamal, Tandy, Tantra, Intan, Natan, Virtandy
|
|
Teng
|
Tenggara, Tengger, Ateng
|
||
Kuo
|
Kwee, Kwik
|
Kartawiharja, Kusuma, Kusumo
|
|
Han
|
Han
|
Handjojo, Handaya, Handoyo,
Handojo, Hantoro
|
|
Hung
|
Ang
|
Anggawarsito, Anggakusuma, Angela,
Angkiat, Anggoro, Anggodo, Angkasa, Angsana
|
|
Huang
|
Oei, Oey
|
Wibowo, Wijaya, Winata, Widagdo,
Winoto, Willys, Wirya, Wiraatmadja , Winarto, Witoelar
|
|
Ciang
|
Kang/Kong
|
Kangean
|
|
Lhi
|
Li, Lie, Lee
|
Lijanto, Liman, Liedarto, Rusli
|
|
Lhiang
|
Nio
|
Liangani, Liando, Liandow,
Liandouw, Meliangan
|
|
Lhin
|
Liem, Lim
|
Halim, Salim, Limanto, Limantoro,
Limianto, Limijanto, Wanandi, Liemena, Alim, Limawan, Liemantika, Liman
|
|
Lhiu
|
Lau, Lauw
|
Mulawarman, Lawang, Lauwita,
Lawanto
|
|
Lhû
|
Liok, Liuk
|
Loekito, Loekman, Loekali
|
|
Liw
|
Loe, Lu
|
Loekito, Luna, Lukas, Lukita,
Loeksono
|
|
Lo
|
Ro, Loe, Lou, Lo, Luo
|
Lolang, Louris, Robert, Rowi,
Robin, Rosiana, Rowanto, Rohani, Rohana, Samalo, Susilo,
|
|
Jhiwyen
|
|
Kuanna
|
|
Shi
|
Sie
|
Sidjaja, Sidharta
|
|
Sê Dhu
|
Sieto, Szeto, Seto, Siehu, Suhu
|
Lutansieto, Suhuyanli, Suhuyanly
|
|
Su
|
Souw, So, Soe
|
Soekotjo, Soehadi, Sosro, Solihin,
Soeganda, Suker, Suryo, Surya, Soerjo
|
|
Whang
|
Ong, Wong
|
Ongko, Wangsadinata, Wangsa, Radja,
Wongsojoyo, Ongkowijaya, Setiawan
|
|
Whên
|
Oen, Boen, Woen
|
Benjamin, Bunjamin, Budiman,
Gunawan, Basiroen, Bunda, Wendi, Unang
|
|
Whu
|
Go, Gouw, Goh, Ng
|
Gono, Gondo, Sugondo, Gozali,
Wurianto, Gunawan, Govino, Gotama, Utama, Widargo, Sumargo, Gossidhy, Bagus,
Bagoes, Prayogo
|
|
Xiw
|
Kho, Khouw, Khoe
|
Kosasih, Komar, Kurnia, Kusnadi,
Kholil, Kusumo, Komara, Koeswandi, Kodinata
|
|
Shie
|
Cia/Tjia
|
Tjiawijaya, Tjahyadi, Sudarmadi,
Ciawi
|
|
Yang
|
Njoo, Nyoo, Jo, Yong
|
Yongki, Yoso, Yohan, Yuwana
|
|
Ye
|
Yap/Jap
|
Japhar
|
|
Ceng
|
Tjan, Tsang
|
Tjandra, Tjandrakusuma, Chandra, Chandrawinata,
Candrakusuma
|
|
Chang
|
Thio, Tio, Chang, Theo, Teo, Tjong
|
Canggih, Setyo, Setio, Sulistio,
Sutiono
|
|
Cheng
|
Te, The
|
Tedyono, Suteja, Teja, Teddy,
Tedjokumoro, Tejarukmana, Tejawati
|
|
Chou
|
Tjio, Tjioe
|
Tjokrorahardjo (Cokroraharjo),
Tjokrowidjokso (Cokrowijokso)
|
|
Chu
|
|
Zulkifri, Zuneng
|
|
{belum
dikelompokkan) |
|
Djiaw, Gan, Hoo,
Keng, Pek, Poo, Siauw, Sie, Siem, Sim, Shim, Shen, Tjoa, Tjun, Tjiam, Tong |
|
c. Nama Tionghoa
dan romanisasinya
Sekarang ini, biasanya untuk memudahkan orang yang
memiliki nama Tionghoa juga memiliki romanisasi dari lafal nama Tionghoa mereka
ataupun memiliki nama Barat. Sistem
romanisasi yang paling baku dan paling banyak digunakan sekarang ini adalah
sistem Hanyu Pinyin. Tata cara penulisan nama Tionghoa
dalam bentuk romanisasi yang paling sering digunakan saat ini adalah dengan
memisahkan antara suku-kata marga dan nama.
Mao Zedong; Mao adalah marga 1 karakter, Zedong
adalah nama 2 karakter. Jiang Zemin; Jiang adalah marga 1
karakter, Zemin adalah nama 2 karakter. Sima Yi; Sima adalah marga 2 karakter, Yi adalah nama 1
karakter. Auwjong Pengkoen (dialek Hokkian); Auwjong adalah marga 2
karakter, Pengkoen adalah nama 2 karakter. Ada
pula penulisan dengan tata cara penulisan nama Barat, di mana nama pemberian
ditulis terlebih dahulu dan nama keluarga mengikuti di belakang. Nama keluarga
di Barat dapat disamakan dengan marga di kalangan Tionghoa.
Zemin, Jiang; Zemin adalah nama pemberian, Jiang adalah
nama keluarga (marga) Nama barat berikut ini disertai oleh marga Tionghoa di
belakang nama Barat tersebut sesuai dengan kaidah penamaan di Barat yang
menempatkan nama keluarga di belakang nama pemberian. James Soong Chuyu; James adalah nama Barat,
Soong adalah marga Tionghoa, Chuyu adalah nama Tionghoa. Jacky Cheung; Jacky adalah nama Barat,
Cheung adalah marga Tionghoa dalam dialek Kantonis.
Nama
orang Korea, Vietnam dan Jepang juga mendapat pengaruh besar dari nama Tionghoa. Sampai sekarang nama orang
Korea masih terdiri dari 3 karakter suku-kata walau ditulis dalam karakter Hangul. Marga orang Korea adalah
bersumber dari marga Tionghoa. Orang
Vietnam sendiri menggunakan nama Tionghoa namun dengan lafal bahasa
Viet
serta ditulis dengan romanisasi. Orang Jepang menggunakan nama yang
ditulis dengan karakter Han, namun mayoritas dengan 4 karakter, 2 karakter
marga dan 2 karakter nama.
B. Budaya
teh Tionghoa
Minum
teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Cina, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun
sebelum Masehi (SM), yaitu pada zaman Kaisar Shen Nung berkuasa. Bahkan,
berlanjut di Jepang sejak masa Kamakaru (1192 – 1333) oleh pengikut Zen. Tujuan
minum teh, agar mereka mendapatkan kesegaran tubuh selama meditasi yang bisa memakan waktu
berjam-jam. Pada akhirnya, tradisi minum teh menjadi bagian dari upacara ritual
Zen. Selama
abad ke-15 hal itu menjadi acara tetap berkumpul di lingkungan khusus untuk
mendiskusikan berbagai hal.
Meski saat itu belum bisa dibuktikan khasiat teh secara
ilmiah, namun masyarakat Tionghoa sudah meyakini teh dapat menetralisasi kadar
lemak dalam darah, setelah mereka mengonsumsi makanan yang mengandung lemak. Mereka
juga percaya, minum teh dapat melancarkan buang air seni, menghambat diare, dan sederet kegunaan
lainnya.
C. Masakan
Tionghoa-Indonesia
Masakan Tionghoa-Indonesia mempunyai ciri khas campuran antara masakan Tionghoa dengan masakan
tradisional Indonesia. Masakan ini biasanya mirip dengan masakan Tionghoa yang
dimodifikasi dengan cabai, santan dan bumbu-bumbu dari masakan Indonesia. Beberapa
masakan dan kue menyerupai masakan di Malaysia. Masakan
Tionghoa-Indonesia juga dapat bervariasi tergantung dari tempat. Sebagai contoh
di berbagai tempat di pulau Jawa, masakan ini menjadi
bagian dari budaya setempat. Di Jawa masakan ini cenderung agak manis. Di Medan, Sumatra Utara masakan tradisional
Tionghoa masih lebih mudah ditemukan.
Ada
beberapa jenis gaya masakan Tionghoa di Indonesia: Masakan Tionghoa gaya baru
dengan koki dari Republik Rakyat Cina, Hongkong atau Taiwan. Masakan Tionghoa
tradisional seperti masakan Tiochiu, Hokkian dan Hakka. Masakan Tionghoa-Indonesia
dengan pengaruh barat (Belanda). Masakan
Tionghoa yang diadaptasi ke budaya setempat, seperti menggantikan babi dengan
ayam atau sapi untuk membuatnya halal. Beberapa masakan Tionghoa-Indonesia
yang terkenal:
Bakmi, Mie yang diadaptasi ke
beberapa macam jenis. Setiap kota memiliki ciri khasnya tersendiri. Sebagai
contoh Bakmi Bandung, Bakmi Medan, Bakmi Makassar, Bakmi Bangka, dan lai-lain.
Nasi goreng, mie goreng, bihun goreng, kwetiau goreng - nasi atau mie yang digoreng dengan
bumbu, cabai dan kecap manis. Cap cai, bahasa Hokkian yang artinya "sayur
campur",orang hakka menyebutnya chap choi Tahu goreng, biasa disajikan dengan saus kacang dan cabai. Mie masak, bihun masak, Nasi tim, Telur tim, Ayam cah, Ifumie, Ambokueh, Bakkut Teh.
D. Pengobatan
tradisional Tionghoa
Pengobatan tradisional Tionghoa (Hanzi:中醫學) adalah praktik pengobatan tradisional yang dilakukan di Cina dan telah berkembang selama beberapa
ribu tahun. Praktek pengobatan termasuk pengobatan herbal, akupunktur, dan pijat Tui Na. Pengobatan ini digolongkan dalam kedokteran Timur, yang mana termasuk
pengobatan tradisional Asia Timur lainnya seperti Kampo (Jepang) dan Korea.
Pengobatan
Tradisional Tionghoa percaya bahwa segala proses dalam tubuh manusia berhubungan dan
berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit
disebabkan oleh ketidakharmonisan antara lingkungan di dalam dan di luar tubuh
seseorang. Gejala ketidakseimbangan ini digunakan dalam pemahaman, pengobatan,
dan pencegahan penyakit.
Teori
yang digunakan dalam pengobatan didasarkan pada beberapa acuan filsafat
termasuk teori Yin-yang, lima unsur (Wu-xing), sistem meridian tubuh manusia (Jing-luo), teori organ Zang Fu, dan lainnya. Diagnosis dan perawatan dirujuk pada kondisi Sejarah. Sebagian
besar filosofi pengobatan tradisional Cina berasal dari filsafat Taois dan mencerminkan
kepercayaan purba Cina yang menyatakan pengalaman pribadi seseorang
memperlihatkan prinsip kausatif di lingkungan. Prinsip kausatif ini berhubungan
dengan takdir dari surga.
Selama
masa kejayaan Kekaisaran Kuning pada 2696 sampai 2598 SM,
dihasilkan karya yang terkenal yakni Neijing Suwen
(內經 素問) atau Pertanyaan Dasar mengenai Pengobatan Penyakit Dalam, yang
dikenal juga sebagai Huangdi Neijing. Ketika masa dinasti Han, Chang Chung-Ching, seorang walikota Chang-sa, pada akhir abad ke-2 Masehi, menulis sebuah karya Risalat Demam Tifoid, yang mengandung
referensi pada Neijing Suwen.
Ini adalah referensi ke Neijing Suwen
terlama yang pernah diketahui.
Pada
masa dinasti
Chin,
seorang tabib akupunktur, Huang-fu Mi (215-282 Masehi), juga mengutip karya Kaisar Kuning itu pada
karyanya Chia I Ching. Wang Ping, pada masa dinasti Tang, mengatakan bahwaia
memiliki kopi asli Neijing Suwen
yang telah ia sunting.
Bagaimanapun,
pengobatan klasik
Tionghoa
berbeda dengan pengobatan tradisional Tionghoa. Pemerintah nasionalis, pada masanya, menolak
dan mencabut perlindungan hukum pada pengobatan klasiknya karena mereka tidak
menginginkan Cina tertinggal dalam hal
perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Selama 30 tahun, pengobatan klasik
dilarang di Cina dan beberapa orang dituntut oleh pemerintah karena melakukan
pengobatan klasik. Pada tahun 1960-an, Mao Zedong pada akhirnya memutuskan bahwa
pemerintah tidak dapat melarang pengobatan klasik. Ia memerintahkan 10 dokter terbaik untuk menyelidiki
pengobatan klasik serta membuat sebuah bentuk standar aplikasi dari pengibatan
klasik tersebut. Standarisasi itu menghasilkan pengibatan tradisional Tionghoa.
Kini,
pengobatan tradisional Tionghoa diajarkan hampir di semua sekolah kedokteran di
Cina, sebagian besar Asia, dan Amerika Utara. Walauapun kedokteran dan kebudayaan Barat telah menyentuh Cina,
pengobatan tradisional belum dpata tergantikan. Hal ini disebabkan oleh banyak
faktor sosiologis dan antropologis. Pengobatan tradisional
dipercaya sangat efektif, dan kadang-kadang dapat berfungsi sebagai obat
paliatif ketik kedokteran Barat tidak mampu menangani lagi, seperti pengobatan
rutin pada kasus flu dan alergi, serta menangani pencegahan keracunan.
Cina
sangat dipengaruhi oleh marxisme. Pada sisi lain, dugaan supranatural bertentantangan
pada kepercayaan Marxis, materialisme dialektikal. Cina modern membawa
pengobatan tradisional Cina ke sisi ilmiah dan teknologi serta meninggalkan
sisi kosmologisnya.
a. Praktek
pengobatan
Pada
dunia Barat, pengobatan tradisional
Tionghoa dianggap sebagai pengobatan alternatif. Bagaimanapun, di Republik Rakyat Cina dan Taiwan, hal ini menjadi bagian
tak terpisahkan dengan sistem kesehatan. Pengobatan tradisional
merupakan bentuk intervensi terapi yang tidak invasif, berakar dari kepercayaan
kuno, termasuk di dalamnya konsep kepercayaan kuno. Pada abd ke-19, para
praktisi pengobatan tradisional ini masih memiliki pengetahuan yang terbatas
mengenai penyakit infeksi, dan pemahaman ilmu
kedokteran Barat seperti biokimia. Mereka menggunakan teori-teori yang telah berumur
ribuan tahun yang didasarkan pengalaman dan pengamatan serta sebuah sistem
prosedur yang menjadi dasar pengobatan dan diagnosis.
Tidak
seperti beberapa bentuk pengobatan tradisional yang telah punah, pengobatan
tradisional Tionghoa kini menjadi bagian dari pengobatan modern dan bagian
sistem kesehatan di Cina. Dalam beberapa dekade belakangan ini, banyak ahli
kedokteran Barat yang juga meneliti kebenaran pengobatan tradisional Tionghoa
ini. Pengobatan
tradisional Cina sering diterapkan dalam membantu penanganan efek samping kemoterapi, membantu perawatan
keteragantungan obat terlarangan, dan merawat berbagai kondisi kronis yang oleh
pengobatan konvensional dianggap mustahil untuk disembuhkan.
b. Diagnosis
Terdapat
empat macam metoe diagnosis pada pengobatan tradisional Tionghoa: mengamati (望 wàng), mendengar dan
menghidu (聞 wén), menanyakan riwayat
(問 wèn), dan menyentuh (切 qiè).[1] The pulse-reading
component of the touching examination is so important that Chinese patients may
refer to going to the doctor as "Going to have my pulse felt"
c. Teknik
diagnosis
2.
Mengamati
wajah pasien
4.
Mengamati
suara pasien
6.
Mengamati
pembuluh darah halus pada jalur telunjuk kanak-kanak
7.
Membandingkan
kehangatan relatif atau suhu pada beberapa bagian tubuh
10.
Pemeriksaan
lain tanpa alat dan melukai pasien
d. Teknik perawatan
Dalam sejarahnya, terdapat
delapan cara pengobatan:
Kepercayaan
tradisional Tionghoa
Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan
rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak
mempunyai kitab suci resmi dan sering
merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional
Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada
penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari
kebudayaan Melayu. Secara
umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu: 1). Penghormatan
leluhur:
Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan
tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang
mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. 2). Penghormatan
dewa-dewi:
Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini
tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi
yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian
dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa
di zaman mereka hidup.
Sejarah
Astrologi Cina yang sistematik
sudah berusia 5000 tahun, dan mungkin merupakan yang pertama di dunia ini. Pada peradaban lain
ilmu astrologi juga ditemukan namun kebangkitannya baru dimulai sekitar 500 SM. Astrologi
Cina dapat ditemukan pada
bukti Kalender Hsia yaitu kalender astrologi yang disusun pada masa dinasti Hsia
sekitar 2205 SM. Akan tetapi pada masa sebelum Dinasti Hsia berbagai penemuan tentang
astrologi sudah disusun yaitu sejak masa Kaisar Kuning sampai Kaisar Yao. Bahkan
pada masa kaisar Shen Nung, kalender astrologi sudah dipergunakan untuk menaman
padi yang disebut Nung Li
(Kalender Tani). Di
masa kini, kalender Hsia ini masing dipergunakan untuk berbagai ramalan dan
perhitungan astrologi Cina. Di Indonesia perhitungan kalender ini juga masih
digunakan oleh etnis Cina.
2.7 PERAYAAN
PERAYAAN TIONGHOA
A.
Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek)
Tahun
Baru Imlek biasanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa hingga kini dengan
sangat meriah, dengan menggantung berbagai macam pernak-perniknya, seperti
lampion merah, menempel kertas merah bertuliskan ‘FU福’,
menyiapkan angpao, sampai pesta kembang api dan tarian naga serta barongsai.
Awalnya Imlek merupakan hari raya yang berkaitan dengan pergantian musim, yakni
dari musim dingin ke musim semi. Karena musim semi dihitung sebagai musim
pertama dari 4 musim yang ada, maka berdasarkan penanggalan Imlek, hari pertama
mulainya musim semi merupakan hari pertama penanggalan tahunan.
B.
Festival Yuan Xiao (Cap Go Meh)
Festival
Yuan Xiao atau biasa dikenal dengan perayaan Cap Go Meh jatuh setiap tanggal 15
bulan pertama penanggalan Imlek. Sama hal nya dengan perayaan Imlek diatas,
perayaan Cap Go Meh ini juga dirayakan dengan sangat meriah di beberapa negara
yang tersebar di berbagai belahan dunia. Umumnya yang ada dalam Festival Cap Go
Meh ini adalah disajikan pertunjukan tarian barongsai, naga (liong), atraksi
beladiri wushu, pergelaran alat musik tradisional China, pertunjukan tarian
khas negeri Tiongkok, dan sebagainya.
Bahkan
di Indonesia, festival Cap Go Meh ini dilakukan upacara kirab atau turun ke
jalan raya dengan menggotong Kio/usungan yang diisi/dimuat arca para Dewa.
Bahkan, di beberapa kota di tanah air, seperti di daerah Jakarta dan di Manado,
ada atraksi ‘lok thung’ atau ‘thang sin’, dimana ada seseorang yang menjadi
medium perantara, dimana biasanya akan melakukan beberapa atraksi sayat lidah,
memotong lengan/badannya dengan sabetan pedang dsb, dan dipercaya telah
dirasuki roh Dewa/i untuk memberikan berkat bagi umatNya. Berikut informasi
selengkapnya mengenai Festival Cap Go Meh.
Pada
perayaan cap go meh terdapat arak arakan dan pesta lampion
C.
Festival Qing Ming (Ceng Beng)
Festival
Qing Ming adalah hari di mana masyarakat Tionghoa melakukan ziarah ke kuburan
leluhurnya (orang tua, sanak family) sekalian membersihkannya dan bersembahyang
di makam sambil membawa buah-buahan, kue, makanan, serta karangan bunga. Hari
Ceng Beng biasanya jatuh pada tanggal 5 April kalender Masehi. Kegiatan ini
bertujuan sebagai bentuk penghormatan (mengenang) kepada leluhur atau keluarga
yang telah meninggal. Berikut informasi selengkapnya mengenai Festival Ceng
Beng.
Tampak sesajian di depan
makam pada festival Cheng Beng yang disediakan oleh keluarga
D. Festival Duan Wu
Festival
Duan Wu sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Hingga saat ini, ada 2 kegiatan
yang terus dilakukan masyarakat Tionghoa, yakni makan Bak Chang dan perlombaan
perahu naga. Salah satu asal usul dari festival Duan Wu ini adalah untuk
mengenang patriot Qu Yuan yang mati bunuh diri dengan terjun ke sungai karena
kecintaan dan kesetiaannya pada negara/dinasti Chu. Festival ini dilangsungkan
setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.
Festival Duan Wu identik
dengan makan Bak Chang dan Perahu Naga
E. Festival Qi Xi
Festival
Qi Xi atau biasa disebut dengan merupakan festival Qi Qiao yang romantis dalam
tradisi dan kebudayaan Tionghoa. Bahkan festival ini dikatakan sebagai hari
valentine nya orang Tionghoa. Festival Qi Xi ini memperingati kisah romantis
antara pria penggembala Niu Lang dan Zhi Nu si gadis penenun yang menurut
cerita hanya dapat bertemu sekali dalam setahun. Festival ini jatuh setiap
tanggal 7 bulan 7 penganggalan Imlek. Pada Malam Festival Qi Xi, gadis-gadis
muda melakukan permohonan dan doa agar dapat meningkatkan keterampilan seni mereka
dan juga memohon supaya mendapatkan suami yang setia dan baik serta
mencintainya.
Sosok
Dewi Bulan yang diilustrasikan dalam perayaan kue bulan di suatu kelenteng
G. Festival
Musim Gugur (Tiong Ciu)
Festival
musim gugur atau biasa disebut dengan Tiong Ciu Pia (makan kue pia), merupakan
hari raya panen. Festival ini dirayakan setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan
Imlek. Festival musim gugur dimulai sekitar zaman dinasti Xia dan Sheng
(2000-1600 SM). Pada dinasti Zhou, rakyat merayakan dengan memuja bulan. Pada
dinasti Tang, tradisi itu lebih jelas dan merakyat. Pada dinasti Song selatan
(1127-1279 M), orang mulai mengirimkan kue bulan yang bergambar kelinci kepada
rekan dan family sebagai simbol keutuhan
keluarga.
Pada
malam hari mereka berjalan-jalan bersama keluar rumah dan mengunjungi tepi
danau menikmati rembulan. Pada dinasti Ming dan Qing, tradisi ini menjadi lebih
populer. Muncul beberapa kebiasaan seperti menanam pohon musim gugur,
menyalakan lentera dan tari naga. Tradisi yang paling utama yang sampai
sekarang masih ada adalah berkumpul bersama keluarga untuk menikmati bulan
sambil menikmati penganan khas kue bulan sambil meminum arak (minuman keras
khas negeri Tiongkok) atau teh. Berikut informasi selengkapnya mengenai
Festival Tiong Ciu Pia.
H. Festival
Chong Yang
Festival
Chong Yang jatuh setiap tanggal 9 bulan 9 penanggalan Imlek. Festival Chong
Yang yang memiliki arti Panjang umur ini juga dirayakan sebagai Hari Lansia
(Lanjut Usia) oleh Warga Tionghoa. ‘Chong Yang’ artinya nomor ‘Yang’ yang
double, menurut kitab I Ching, angka sembilan memiliki sifat ‘Yang’. Sembilan
juga merupakan angka tertinggi dari angka-angka yang lainnya, dan mempunyai
bunyi yang sama dengan ‘Jiu-Jiu’ yang artinya ‘lama-lama’, jadi sering
diartikan sebagai panjang umur. Festival Chong Yang yang paling ramai
diselenggarakan di Hong Kong dan daratan China. Pada festival Chong Yang, orang
sering berkumpul untuk berpesta bersama, menikmati bunga krisan, mendaki gunung dan makan kue spesial.
Festival ini juga dikenal dengan istilah ‘double nine Festival’. Di Indonesia
sendiri, Festival ini belum ada.
I. Festival
Musim Dingin (Dong Zhi)
Festival
Musim Dingin jatuh setiap tanggal 22 Desember kalender masehi. Pada festival
ini biasanya orang akan membuat kue onde dan memakannya bersama keluarga. Asal
usul festival ini dapat ditelusuri kembali ke filsafat Tao ‘Yin dan Yang’
sebagai keseimbangan dan harmoni dalam alam semesta. Festival ini mulai
dirayakan pada zaman dinasti Han (206-220 SM). Pada zaman sekarang ini festival
musim dingin dirayakan dengan sangat meriah seperti di Harbin. Bahkan kota yang
terletak di paling utara China ini menjadi salah satu dari tempat-tempat yang
menyelenggarakan festival es dan salju di dunia.
Secara turun-temurun, festival ini menjadi saat berkumpul
bagi seluruh anggota keluarga dengan satu kegiatan utama yang dilakukan
(terutama bagi keluarga-keluarga di Tiongkok selatan dan perantauan), yaitu
membuat dan menikmati TangYuan, orang Indonesia menyebutnya wedang ronde) yaitu
hidangan berbentuk bola-bola dari beras ketan yang melambangkan persatuan. TangYuan dibuat dengan
warna-warna yang cerah, masing-masing anggota keluarga mendapat setidaknya satu
bola TangYuan berukuran besar disamping beberapa lainnya yang berukuran kecil. Berikut
informasi selengkapnya mengenai Festival Dong Zhi.
Selain
festival-festival diatas, masih banyak juga festival udaya Tionghoa yang lain,
seperti festival hantu. Nah tugas kita sebagai generasi penerus Tionghoa untuk
tetap melestarikan budaya Tionghoa di negara tercinta kita, Indonesia.